Advertisement
Advertisement
Analisis | Tanda Tanya di Balik Rapor Biru Keuangan Garuda - Analisis Data Katadata

Tanda Tanya di Balik Rapor Biru Keuangan Garuda

Tanpa perubahan mencolok dalam bisnisnya, Garuda Indonesia mencetak laba pada 2018. Padahal, secara operasional BUMN ini masih merugi seperti 2017. Di baliknya, ada pencatatan tak lazim bernilai jumbo.

Nazmi Haddyat Tamara

7/5/2019, 09.00 WIB


Laporan keuangan tahun lalu PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) memantik polemik panjang selama dua pekan terakhir. Persoalan ini mencuat ketika dua orang komisarisnya: Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menolak menandatangani laporan keuangan BUMN tersebut dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) akhir April lalu.

Dua komisaris yang mewakili CT Corp. sebagai salah satu pemegang saham Garuda, menilai pencatatan laporan keuangan maskapai tersebut tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi. Sebab, ada transaksi yang dicatatkan sebagai pendapatan dan menaikkan laba tahun berjalan perusahaan.

Dalam laporan keuangan audit tahun 2018, Garuda Indonesia mencetak laba US$ 5,01 juta atau setara Rp 70,76 miliar. Padahal, menurut kedua komisaris tersebut, seharusnya Garuda merugi senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS).

Operasional Masih Rugi

Secara usaha dan operasional perusahaan, Garuda masih merugi. Kondisi ini hampir sama dengan tahun 2017. Saat itu, Garuda menderita rugi bersih usaha US$ 150,4 juta. Secara umum, kinerja 2017 ditutup dengan kerugian total tahun berjalan mencapai US$ 213,3 juta.

Pada 2018, rugi bersih usaha Garuda melonjak menjadi US$ 206 juta dan pendapatan usaha mencapai US$ 4,37 miliar. Di sisi lain, beban usaha maskapai penerbangan ini lebih tinggi, yakni US$ 4,58 miliar.

Pendapatan ini disokong oleh penerbangan berjadwal seperti penumpang umum, kargo, bagasi, serta surat dan dokumen sebesar US$ 3,5 miliar. Seluruh bagian pada penerbangan berjadwal ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya US$ 3,4 miliar. Pos operasional penumpang menyumbang 90% dari pendapatan berjadwal atau US$ 3,25 miliar.

Selanjutnya, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal yang terdiri dari pengangkutan haji dan charter menyumbang US$ 266 juta. Pos ini terlihat menurun dari tahun 2017 yang mencapai US$ 301 juta.

Sisanya, pendapatan usaha Garuda diisi oleh pendapatan lain-lain senilai US$ 567 juta yang meningkat dari tahun sebelumnya US$ 473 juta.

Peningkatan pendapatan tahun 2018 belum mampu menutup beban usaha yang juga melambung. Beban operasional penerbangan menyumbang porsi tertinggi hingga 60% dengan nilai US$ 2,7 miliar. Pos ini terdiri atas bahan bakar, sewa dan charter pesawat, gaji hingga asuransi. Bahan bakar masih menjadi beban tertinggi dalam operasional penerbangan Garuda.

Beban terbesar selanjutnya adalah pemeliharaan dan perbaikan yang mencapai US$ 529,4 juta. Pos ini berupa pemeliharaan dan perbaikan pesawat, suku cadang, hingga imbalan kerja para teknisi yang bertugas di dalamnya. Terakhir, beban lainnya seperti biaya bandara, administrasi, dan beban promosi tiket rata-rata berada di bawah US$ 500 juta.

Pencatatan Tak Lazim

Salah satu penyebab melesatnya laba Garuda tahun lalu adalah pendapatan lain-lain yang mencapai US$ 278 juta. Pos ini tahun sebelumnya hanya sebesar US$ 19,7 juta. Besarnya pos ini berasal dari “pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten” senilai US$ 239,94 juta.

Nilai itu muncul dari sebuah transaksi kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi mengenai penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat serta manajemen konten. Mahata sebagai pihak kedua akan menanggung seluruh biaya penyediaan, pengoperasian hingga pemeliharaan pada seluruh pesawat di bawah Grup Garuda Indonesia.

Kerja sama ini dilakukan dengan PT Citilink Indonesia sebagai entitas anak perusahaan Grup Garuda Indonesia. Total kerja sama Citilink dengan Mahata ini bernilai US$ 211,94 juta. Sisanya, US$ 28 juta dilakukan dengan PT Sriwijaya Air sebagai Kerja Sama Operasional (KSO) dengan Grup Garuda.

Seluruh kontrak dengan dua anak perusahaan itu terdiri atas dua transaksi besar, yakni layanan konektivitas dan layanan hiburan.

Pemasangan layanan konektivitas wireless fidelity (wifi) bernilai US$ 131,94 juta yang terpasang pada 153 armada milik Citilink. Fitur ini tersebar pada 50 unit pesawat A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737-800 NG dan 10 pesawat Boeing 777.

Selanjutnya, biaya kompensasi untuk layanan hiburan dan manajemen konten senilai US$ 80 juta terpasang pada 99 pesawat. Rinciannya: 18 pesawat A330, 70 pesawat 737-800 NG, 1 pesawat 737-800 MAX, dan 10 pesawat Boeing 777.

Sedangkan untuk Sriwijaya Air, pemasangan dan pengelolaan wifi on board pada 50 pesawat Boeing 737 series. Sebanyak 47 pesawat di antaranya sudah dioperasikan oleh Sriwijaya Air, sedangkan 3 sisanya baru akan dikirim pada 2019 dan 2020.