
“Ada orang-orang pintar [bilang], kabinet ini kabinet gemuk, terlalu besar. Ndasmu.” Begitu kata Presiden Prabowo Subianto di depan ribuan orang yang memenuhi Sentul International Convention Centre di Bogor, Jawa Barat, pada 15 Februari. Kata ndasmu yang terlontar dari mulutnya kemudian disambut gelak tawa para hadirin, termasuk para menteri Kabinet Merah Putih yang hadir.
Dalam bahasa Jawa, “ndasmu” berarti “kepalamu”. Ungkapan ini biasa dinyatakan sebagai umpatan ketika seseorang merasa kecewa atau geram terhadap suatu hal yang dilontarkan lawan bicaranya.
Dalam gelaran Hari Ulang Tahun ke-17 Partai Gerindra itu, Prabowo menyebut ndasmu sampai tiga kali. Selain menyinggung orang yang mengkritik kabinet, dia juga mengalamatkan ndasmu untuk orang-orang yang mengkritik program unggulannya: makan bergizi gratis (MBG).
“Sudah kita gelar sekian ratus [titik MBG], masih ada yang komentar, ‘iya, tapi belum banyak.’ Kalau nggak ada wartawan, saya bilang: ndasmu,” kata Prabowo. Kata yang muncul paling terakhir itu dia ucapkan dengan berbisik. Kontan, semua yang hadir kembali tertawa.
Saat menjadi calon presiden, Prabowo juga pernah melontarkan diksi serupa. Di dalam sebuah video yang merekamnya tengah berpidato di depan kader-kader Gerindra, Prabowo menyebut-nyebut tentang etik. Dia merujuk pertanyaan yang dilontarkan Anies Baswedan yang menjadi lawannya di dalam salah satu debat calon presiden 2024. “Bagaimana perasaan Mas Prabowo soal etik?” kata Prabowo menirukan Anies. “Etik, etik, etik. Ndasmu etik.”
Pada akhirnya, gaya berkomunikasi Presiden Prabowo dipertanyakan. Apalagi diksi ndasmu dilontarkan kembali, bahkan secara terbuka, ketika dia sudah menjabat sebagai presiden. Komika Pandji Pragiwaksono, misalnya, menyayangkan sikap presiden penerus Jokowi itu.
“Seakan-akan yang mengkritiknya adalah lawan politiknya. Nggak, kebanyakan [yang mengkritik] adalah rakyat Indonesia. Ketika rakyat Indonesia bilang ke Pak Prabowo bahwa kabinetnya kegemukan, respons beliau adalah memaki rakyatnya sendiri: ndasmu. Itu bahaya sekali,” kata Pandji dalam video yang diunggah di kanal YouTube pada 4 Maret.
Kata ndasmu hanyalah salah satu dari sekian banyak diksi yang mencerminkan gaya komunikasi Presiden Prabowo. Untuk melihat apakah diksi itu bagian dari pola komunikasi yang lebih besar, kami tergerak untuk melakukan analisis terhadap pidato Prabowo sepanjang dia menjabat sebagai presiden sejak 20 Oktober 2024.
Kami memilih 11 pidato yang kami bagi berdasarkan empat klaster berbeda. Pertama, pidato kenegaraan yang mencakup pidato di pelantikan presiden dan sidang kabinet perdana. Kedua, pidato di gelaran tiga partai politik dan organisasi Gerakan Solidaritas Nasional yang merupakan perpanjangan dari unsur-unsur Koalisi Indonesia Maju. Ketiga, pidato di dua ormas keagamaan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Keempat, pidato saat peresmian lembaga baru yang menjadi cita-cita pemerintahan Prabowo, Badan Pengelola Investasi Danantara dan Bank Emas.
Kami juga membagi analisisnya ke dalam dua tahap. Tahap pertama, kami menggunakan naskah verbatim hasil transkripsi 11 pidato Prabowo untuk kemudian membagi-bagi substansinya ke dalam berbagai konteks.
Tahap kedua, kami menggunakan bahasa pemrograman Python, library Natural Language Toolkit (NLTK), untuk menyiangi kata-kata konjungsi di dalam seluruh naskah tersebut. Setelah itu, dengan menggunakan fitur Word Counter di platform Databasic.io, kami memunculkan urutan dua kata (bigram) dan tiga kata (trigram) untuk dianalisis frekuensi dan maknanya.
Sentimen Antikritik Prabowo
Dari 11 pidato yang kami bedah, setidaknya dalam delapan pidato, Prabowo menyampaikan sentimen antikritik. Kami membedah pidato berdasarkan konteks dan topiknya yang memuat kata-kata makian, nyinyiran, hingga menirukan opini orang lain dengan gaya mengejek.
Respons terhadap kritik kebijakan atau program Prabowo menjadi yang terbanyak dengan 595 kata. Diikuti oleh sentimen Prabowo terhadap unsur-unsur yang diduga berelasi dengan pihak asing, seperti wartawan yang berasal dari media asing, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dibiayai asing, dan pakar atau pengamat yang berhubungan dengan asing. Pembahasan ini mencapai 412 kata.
Sentimen antikritik paling banyak muncul dalam pidato Prabowo pada acara HUT Partai Gerindra, 15 Februari 2025. Jika dijabarkan, jumlahnya mencapai 514 kata. Kami kemudian memfokuskannya hanya pada ungkapan-ungkapan yang dinyatakan Presiden.
Topik mengenai hasutan media dan LSM asing memiliki jumlah kata terbanyak, yaitu 60 kata. Jika dicermati, asing disebut Prabowo dalam nada kalimat yang negatif. “Ini saya katakan ulah kekuatan asing, yang selalu ingin pecah belah Indonesia,” ujarnya.
Tak hanya berhenti pada diksi “asing”, Prabowo lebih lanjut menyebut-nyebut LSM dan media yang dibiayai dan dimiliki asing. Presiden bahkan menempatkan “ulah kekuatan asing”, “LSM-LSM yang dibiayai oleh negara asing”, dan “media-media yang pemiliknya adalah orang asing” dalam satu deret seolah-olah ketiganya saling terkoneksi dan merupakan aktor utama penghasut.
Media dan wartawan memang dipandang negatif oleh Presiden. Dalam porsi yang lebih sedikit, yakni 42 kata, masih dalam kesempatan yang sama, Prabowo menyoroti wartawan yang dianggapnya selalu berharap dia salah bicara. “Kalau ada wartawan media, saya harus bicara sopan sekali. Kalian mau saya bicara sopan atau apa adanya?” ujarnya.
Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo mengamini kecenderungan antikritik Prabowo terhadap pendapat yang berlawanan dengannya. Menurut pembacaannya, Prabowo juga kerap menggunakan retorika politik yang mudah dipahami dan disukai orang, salah satunya dengan menempatkan siapa kawan siapa lawan. Partai-partai politik, misalnya, alih-alih lawan, sering ditempatkan sebagai kawan.
“Tidak boleh kita bermusuhan dengan lawan-lawan politik kita. Bahkan saya kira keliru kalau kita pakai istilah lawan politik. Tidak ada lawan politik. Yang ada adalah kawan seperjuangan,” kata Prabowo, masih dalam HUT Partai Gerindra.
Di sisi lain, Prabowo menempatkan “lawan” pada pihak-pihak yang sering mengkritik program atau kebijakannya. Masalahnya, menurut Kunto, sentimen negatif itu justru ditujukan oleh Presiden ke pihak-pihak yang “powerless” atau mereka yang berada di dalam posisi yang lebih rendah, baik secara politik maupun sumber daya, seperti wartawan, pengamat, dan LSM.
“Musuh bersama yang dibangun Prabowo adalah asing. Lalu mengasosiasikan aktor-aktor yang dia tidak suka dengan “asing”. Itu strategi retorik untuk membangun simpati atau emosi bahwa kita adalah satu, lawan kita adalah mereka,” kata Kunto kepada Katadata.co.id pada 28 Februari.
Pujian untuk Jokowi
“Ndasmu” yang muncul terakhir di HUT Gerindra ditujukan Prabowo untuk pihak yang menyebut dirinya dikendalikan oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo. Jokowi, panggilan untuk Joko Widodo, dinilai cukup berjasa dalam keterpilihan dirinya dan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024. Jokowi, saat masih menjabat sebagai presiden, memang berkali-kali menunjukkan dan menyatakan keberpihakannya pada Prabowo-Gibran.
Kendati tak sudi dibilang “dikendalikan”, Prabowo mengiyakan betapa Jokowi berjasa bagi keberhasilannya. “Dan saya katakan di sini, kita berhasil karena kita didukung oleh Presiden ke-7. Tepuk tangannya! Kurang semangat! Semangat lagi! Hidup Jokowi!” kata Prabowo.
Presiden Prabowo menyebut Jokowi dalam delapan dari 11 pidatonya yang kami himpun. Secara total nama Jokowi disebut sebanyak 38 kali. Pidato Prabowo dengan penyebutan Jokowi terbanyak terjadi pada HUT Gerindra dengan frekuensi 12 kali.
Jumlah itu timpang dengan penyebutan mantan presiden Indonesia lainnya. Secara umum Prabowo kerap mengenang jasa para presiden terdahulu. Nama presiden pertama Sukarno yang ada di posisi kedua disebut 16 kali. Meski cukup banyak, jumlah itu tak sampai setengah dari frekuensi nama Jokowi. Mantan mertua Prabowo, Soeharto, bahkan hanya disebut lima kali. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi nama yang disebut paling sedikit, yakni satu kali.
Berbeda dengan diksi “asing”, nama “Jokowi” ditempatkan di dalam konteks kalimat bernada positif. Nama itu seringkali muncul sebagai pujian. Diksi “bela”, “hormati”, “terima kasih”, “hidup”, atau “berjasa” kerap bersanding dengan diksi “Jokowi”.
Menurut Kunto, hal itu mengindikasikan kalau Prabowo merasa berutang budi dan punya ketergantungan politik dengan Jokowi. “Prabowo juga masih mengandalkan Jokowi untuk beberapa urusan yang sangat strategis,” katanya.
Secara politik Jokowi memang berjasa bagi Prabowo. Menurut exit poll lembaga survei Indikator Politik pada 14 Februari 2024, mayoritas atau sebanyak 56,4% basis pemilih Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019 memilih pasangan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024. Setelah dilantik menjadi presiden, sedikitnya terdapat 17 menteri Jokowi yang “direkrut” masuk ke dalam kabinet Prabowo.
Pada 23 Februari 2024, analisis data Katadata.co.id juga pernah melaporkan bagaimana dampak Jokowi terhadap pemenangan suara pasangan Prabowo-Gibran di basis suara terbesar Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan: Jawa Tengah (Jateng).
Pengaruh Jokowi dalam mendongkrak suara Prabowo-Gibran, misalnya, sejalan dengan tren kunjungan kepresidenannya dalam enam kesempatan berbeda selama Januari 2024 di Jateng. Dia juga berkunjung ke DI Yogyakarta sebanyak empat kali dalam periode yang sama. Jumlah kunjungan ini lebih banyak dibandingkan dengan kunjungan Jokowi di tempat lainnya di bulan yang sama.
Hasilnya, Prabowo-Gibran menang telak dan berhasil menundukkan provinsi yang selama ini disebut-sebut sebagai “kandang banteng” terpenting dan terbesar itu. Pasangan yang diusung KIM itu memperoleh 12 juta suara. Sedangkan Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP berada di posisi kedua dengan 7,8 juta suara. Kemenangan di Jawa Tengah pun melengkapi dominasi Prabowo-Gibran yang juga unggul di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Hasrat Hegemoni
Secara keseluruhan pidato Prabowo banyak menekankan nasionalisme dan program unggulannya dalam momen seperti pelantikan presiden dan acara partai. Di luar pembahasan inti acara, narasi nasionalisme (kuning) menjadi tema yang paling banyak diangkat, terutama dalam pelantikan presiden (1.500 kata). Secara total, narasi soal itu mencapai 4.184 kata.
Narasi tentang program unggulan (hijau) juga kerap muncul, terutama dalam acara HUT Gerindra (640 kata), Milad 112 Muhammadiyah (507 kata), dan pelantikan presiden (498 kata). Dari 11 pidato yang kami himpun, narasi tentang program unggulan Prabowo-Gibran mencapai 2.705 kata.
Pola penggunaan kata dalam pidato-pidato Prabowo menunjukkan bagaimana dia membangun narasi nasionalisme dan program unggulannya secara konsisten. Namun cara penyampaian pesan ini tidak hanya bergantung pada berapa banyak jumlah katanya, tetapi juga pada struktur dan pola frasa yang kerap diulang.
Kami kemudian tertarik untuk menganalisis apa saja urutan dua dan tiga kata yang paling sering muncul. Ini untuk mengamati lebih dalam bagaimana Prabowo membentuk wacana dan mempengaruhi persepsi publik terhadap kepemimpinannya.
Jika dilihat urutan dua kata (bigram), paduan kata “kita harus” menjadi yang terbanyak diucapkan dengan frekuensi 87 kali. Dengan berpijak pada analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA)—sebuah pendekatan interdisipliner untuk menganalisis bahasa dalam konteks sosial, politik, dan kekuasaan—Kunto menilai diksi “kita” sebagai subjek yang memiliki makna merengkuh atau kebersamaan. Maknanya akan berbeda dengan penggunaan kata “kami” atau “saya” sebagai subjek.
“Pak Prabowo menanamkan semacam ideologi atau kepercayaan bahwa orang Indonesia itu satu, dan jangan terpecah-pecah,” kata Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Unpad ini.
Kendati begitu, frasa “kita harus” juga bisa menunjukkan hal lain. Menurut Kunto, frasa itu juga dapat dibaca sebagai bentuk obsesi dan keinginan untuk mewujudkan cita-cita. Frasa tersebut secara terselubung bisa dimaknai hadir sebagai penekanan atas kewajiban yang datang dari inisiatif Presiden Prabowo, alih-alih hasil kesepakatan bersama dengan para pendengar pidatonya.
“Sebenarnya ini pemikiran dia, tapi seakan-akan dianggap konsensus bersama. Selain obsesif dengan yang ada di depan, ini juga seakan-akan nggak ada kompromi,” kata Kunto.
Frasa yang kurang-lebih sama juga muncul, yakni “kita akan” (40 kali). Frasa itu, menurut Kunto, memperkuat aspek hegemoni dalam komunikasi politik Prabowo. “Paduan diksi ini menunjukkan upaya mendapatkan persetujuan yang akan digunakan untuk melakukan dominasi,” katanya.
Frasa-frasa yang menonjolkan kontrol kepemimpinan juga muncul dalam urutan tiga kata atau trigram. “Kita tidak boleh” (16 kali), “kita tidak mau” (13 kali), dan “kita harus berani” (12 kali) menjadi yang teratas. Ketiganya juga bisa dibaca dalam bentuk seruan langsung dari Prabowo kepada pendengarnya untuk menerima, menolak, atau bertindak melakukan sesuatu.
Adapun jika mencermati frekuensinya, frasa-frasa yang instruktif lebih banyak muncul ketimbang frasa-frasa yang mencerminkan narasi kebangsaan dan kolektivitas, seperti “rakyat Indonesia” (38 kali), “rakyat kita” (36 kali), dan “bangsa Indonesia” (28 kali) untuk bigram; serta “cinta tanah air” (11 kali), “seluruh rakyat Indonesia” (9 kali), dan “bangsa dan negara” (8 kali) untuk trigram.
Yang menarik, ada frasa “demokrasi kita harus” yang muncul sebanyak delapan kali. Meski menyinggung “demokrasi”, Prabowo membangun frasa itu tetap dengan bernada instruktif. Hal ini menunjukkan, seolah ada aturan tertentu dalam demokrasi yang dipahaminya berbeda dengan jenis demokrasi lain, dan harus diikuti.
Editor: Aria W. Yudhistira