Ringkasan
- Banjir di awal Maret melanda sebagian Jabodetabek, khususnya Bekasi, dengan ketinggian air mencapai lantai dua rumah warga. Erna, warga Perumahan Pondok Gede Permai, Bekasi, menjadi salah satu korban terdampak banjir.
- Kerusakan hutan di DAS Ciliwung, Cisadane, dan Kali Bekasi mencapai 2.300 hektare akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan permukiman. Hal ini menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai daerah resapan air dan memperparah banjir.
- Pembangunan masif di wilayah hilir, seperti Sentul dan Cikeas, memperburuk banjir di Bekasi karena melewati batas *floodplain*. Penyusutan RTH di Jakarta dan Bekasi juga meningkatkan risiko banjir.

Menjelang tengah malam, Senin, 3 Maret, Erna (27) sedang dalam perjalanan pulang menggunakan taksi daring saat mendapati jalan menuju rumahnya di Perumahan Pondok Gede Permai, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, macet. Lantaran jengah berlama-lama di dalam mobil, Erna memutuskan berjalan kaki. Saat itulah dia mulai menyadari banjir setinggi paha orang dewasa telah menggenangi sebagian kompleksnya.
Malam itu, Erna sempat merasa beruntung karena rumahnya terletak di area yang lebih tinggi. Namun, pada pukul 4 pagi, segalanya berubah: air mulai memanjat pinggang perempuan setinggi 157 cm itu, dan kurang dari sejam, air berhasil mencapai lantai dua rumahnya.
“Sekitar pukul 5.15 pagi, air sudah setinggi paha di lantai dua. Ketinggian ini bertahan sampai pukul 8 pagi,” kata Erna kepada Katadata.co.id, Kamis, 13 Maret lalu.
Air baru mulai susut dari rumah Erna menjelang tengah hari. Dia dan keluarganya baru bisa dievakuasi tim Basarnas pada pukul 2 siang. Akibat kejadian itu, dua televisi, sebuah mesin cuci, dan sebuah kompor miliknya rusak. Kios tempat ibunya berdagang sayur-mayur juga koyak.
Kisah Erna hanya satu dari sekian banyak cerita nahas lain dalam kejadian banjir yang melanda Kota Bekasi pada awal Maret lalu. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi mencatat banjir terjadi di 20 titik lokasi yang tersebar di tujuh kecamatan pada 3-4 Maret lalu. Kecamatan Jatiasih adalah yang terdampak banjir paling parah dengan tujuh titik lokasi.
Meski tak separah Bekasi, sebagian wilayah DKI Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bogor juga mengalami banjir. Pada 4 Maret, BPBD DKI Jakarta mencatat ada 59 titik lokasi banjir di seluruh penjuru ibu kota, dengan beberapa titik terparahnya berada di sekitar Sungai Ciliwung, seperti di Kelurahan Rawajati di Jakarta Selatan dan Kelurahan Gedong di Jakarta Timur.
Sementara itu, banjir yang melanda Kawasan Puncak Bogor merusak beberapa infrastruktur publik. Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan aliran Sungai Ciliwung meluap dan merendam sejumlah area permukiman dan jalur utama yang menghubungkan Bogor dengan Kawasan Puncak.
Alih Fungsi Lahan Jadi Sumber Masalah
Forest Watch Indonesia (FWI) menemukan masifnya kerusakan hutan alam di tiga daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, Cisadane, dan Kali Bekasi menyebabkan fungsi hutan sebagai konservasi air dan tanah hilang. Kerusakan itu mencapai 2.300 hektare, atau setara 8,2 kali luas kompleks olahraga Gelora Bung Karno atau 29 kali kawasan Monumen Nasional (Monas). Akibatnya sudah bisa ditebak, banjir melumpuhkan sebagian Jabodetabek.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dihimpun FWI, terjadi perubahan tutupan lahan hutan di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagai kawasan hulu.
Ada beberapa titik hutan yang secara masif berubah menjadi perkebunan dan permukiman sepanjang lebih dari dua dekade. Pada 2000, wilayah ini masih memiliki area hutan yang cukup luas, terutama kawasan hutan (warna hijau tua). Namun, pada 2022, luas hutan tampak berkurang drastis. Penurunan ini beriringan dengan peningkatan luas permukiman (warna biru).
Analisis yang dilakukan FWI juga menemukan perubahan signifikan terhadap kondisi penutupan hutan dan lahan di Kawasan Puncak Bogor sepanjang 2017-2024. Rusaknya hutan alam akibat alih fungsi yang terus berlangsung. Dari total kerusakan hutan alam 310 hektare di Cisarua dan Megamendung, sekitar 208,76 hektare telah beralih menjadi perkebunan, kemudian 26,64 hektare menjadi lahan terbangun, dan 75,33 hektare beralih menjadi lahan terbuka.
Selain itu, di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan di Cisarua, terjadi perubahan tutupan hutan yang cukup signifikan. Sejak 2017 hingga 2024, luasan hutan mengalami penurunan, sementara permukiman bertambah. Perkebunan juga terlihat melebar dalam kurun delapan tahun saja.
FWI pun mencatat rata-rata persentase luas hutan tersisa terhadap luas DAS hanya sekitar 13%. Sisa hutan di DAS Ciliwung hanya 14%, Cisadane 21%, dan Kali Bekasi 4%. Adapun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memandatkan setidaknya 30% dari luas DAS merupakan kawasan hutan.
“Hutan harus dilihat sebagai fungsinya untuk menunjang sistem penyangga kehidupan bukan sekadar tegakan pohon saja untuk dieksploitasi,” kata Anggi Putra Prayoga, juru kampanye FWI, dalam dokumen ringkasan kajian FWI yang diterima Katadata.co.id, 14 Maret.
Sebagai hulu, Kabupaten Bogor sebetulnya diproyeksi memiliki lebih banyak RTH. Pemerintah kabupaten pernah menargetkan kebutuhan RTH mencapai 55% dari total wilayahnya. Namun, pada 2022, Bupati Bogor saat itu Ade Yasin menyebut pemerintah kesulitan mencapai target ini, bahkan untuk mencapai 50%. Hal itu dikarenakan masifnya pembangunan komersial, terutama di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua.
Pelanggaran Garis Sempadan di Bekasi
Manajer Infrastruktur dan Tata Ruang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Dwi Sawung, menjelaskan pembangunan yang semakin masif di wilayah hilir turut memperburuk kondisi banjir, terutama di Bekasi. Salah satu contohnya adalah pembangunan di kawasan Sentul dan Cikeas yang mengganggu DAS Kali Bekasi.
“Ketika Sentul mulai dibangun besar-besaran, itu langsung melewati batas floodplain yang ada,” kata Sawung kepada Katadata.co.id, 11 Maret.
Floodplain atau dataran banjir merupakan dataran luas yang berada pada kiri-kanan sungai. Dataran ini berfungsi sebagai penyangga alami untuk kelebihan air sungai. Ketika curah hujan tinggi, sungai meluap dan air menyebar ke dataran banjir.
Beberapa titik terparah banjir Bekasi adalah kawasan yang melampaui dataran banjir dan mepet dengan DAS. Padahal Peraturan Walikota Bekasi Nomor 5 Tahun 2010 sudah mengatur penggunaan jarak garis sempadan sungai.
Pada saluran bertanggul, misalnya, batas kawasan perkotaan, termasuk perumahan, sekurangnya berjarak tiga meter dari sebelah luar kaki tanggul. Adapun pada saluran tidak bertanggul, kawasan perkotaan harus berjarak sekurang-kurangnya 10 meter dari tepi saluran.
Dengan mengamati citra satelit Google Earth di atas wilayah Jatiasih, kami mendapati banyaknya permukiman yang berjarak kurang dari 10 meter dari berbagai garis sempadan sungai yang tak bertanggul. Inilah yang membikin Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid berjanji bakal mengkaji sertifikat hak milik yang ada di berbagai DAS.
Jika dibandingkan dengan potret satelit tahun 2006, berbagai saluran sungai yang mengalir di kawasan itu masih cukup berjarak dengan permukiman, meski pada beberapa titik tetap ada permukiman yang tampak begitu merapat dengan saluran.
Selain itu, citra satelit yang sama menunjukkan daerah Jatiasih mengalami penurunan area hijau yang signifikan. Pada 2006, wilayah itu masih asri dengan banyak pepohonan rimbun dan ruang terbuka hijau. Keduanya punya peran krusial dalam membantu air hujan meresap ke dalam tanah dan mengurangi risiko banjir. Namun, pada Juli 2024, permukiman lebih mendominasi.
Kami juga menggunakan citra Normalized Difference Water Index (NDWI) dari satelit Sentinel-2 untuk mengamati badan air di wilayah yang sama. Hasilnya menunjukkan, warna biru (air) pada citra Oktober 2024 lebih banyak, luas, dan pekat dibandingkan dengan Oktober 2023. Kami membandingkan kedua citra wilayah itu pada musim yang sama.
Dalam jurnal “Identification and Validation of Potential Flood Hazard Area Using GIS-Based Multi-Criteria Analysis and Satellite Data-Derived Water Index” oleh Dash dan Sar (2020), dijelaskan bahwa peningkatan warna biru pada area non-DAS atau non-laut menunjukkan potensi risiko banjir yang lebih tinggi karena berkurangnya resapan air. Akibatnya, air lebih menggenang di wilayah itu.
Penyusutan RTH Sebabkan Jakarta Makin Rentan
Di Jakarta, pengukuran Walhi menemukan bahwa banjir semakin parah akibat berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH). Sesuai peraturan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap wilayah kota seharusnya memiliki paling sedikit 30% RTH. Dari jumlah itu, sebesar 20% merupakan RTH publik dan 10% RTH privat.
RTH publik dikelola oleh pemerintah daerah, seperti taman kota, taman pemakaman umum, jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan RTH privat adalah milik masyarakat atau swasta, seperti kebun dan halaman rumah atau gedung.
“Perubahan besar terjadi pada 1980-an dan kembali meningkat pada awal 2000-an, ketika banyak pengembang properti mendapatkan izin pembangunan, terutama di barat Jakarta,” kata Sawung.
Secara spasial, penyusutan RTH dari tahun ke tahun disebabkan oleh semakin banyaknya permukiman dan lahan terbangun di Jakarta. Pada 1982, kawasan terbangun di Jakarta baru mencapai 59%. Sedangkan pada 2022 angkanya telah meningkat drastis.
Susutnya RTH ini membikin Jakarta menjadi kawasan rentan banjir bahkan meski tanpa kiriman dari Bogor sekalipun. Menurut Walhi, faktor penyebab banjir di Jakarta mayoritas disebabkan karena hujan lokal (52,7%). Adapun banjir kiriman dari hulu hanya 11,8% berdampak pada banjir di Jakarta.
Menurut Kajian Banjir Jakarta pada Januari 2020 oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPPTPDAS) Surakarta, kontribusi banjir di hulu dan bagian tengah DAS Ciliwung hanya berkontribusi sebesar 7,9% terhadap total banjir yang terjadi di sepanjang DAS Ciliwung di Jakarta. Sisanya, kontribusi banjir berasal dari kawasan hilir.
Begitu pula dengan DAS Cisadane, kontribusi banjir di hulu hanya berkontribusi 4,5% terhadap total banjir di sepanjang Cisadane. Sisanya, banjir terjadi di kawasan tengah dan hilir Cisadane.
Dalam skenario penghitungan yang dibuat oleh Pantau Banjir Jakarta dengan menggunakan data tahun 2020, jumlah rukun warga (RW) Jakarta yang terdampak jika hujan terjadi di wilayah hulu hanya 345 RW. Jumlah terbesar berada di Jakarta Timur. Sedangkan jika faktor penyebab banjir adalah hujan lokal, total RW terdampak mencapai 628 RW, terbesar ada di Jakarta Barat.
Menurut catatan Walhi, tren penyusutan RTH di Jakarta terus terjadi. Pada 2022, RTH Jakarta hanya mencapai 5,04%. Angka ini jauh dari kewajiban menurut UU 26/2007.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2024-2044, Pemerintah Provisi DKI Jakarta berencana mengembangkan kurang-lebih 3.679 hektare RTH, dengan sumbangan terbesar berasal dari taman kota (44,9% dari total rencana RTH Jakarta). Masalahnya, penambahan RTH yang dirancang RTRW tersebut baru sekitar 5,5% dari total wilayah Jakarta.
Di Bekasi pun sama saja. Dalam RTRW 2024-2044 Kota Bekasi, pemda setempat hanya merencanakan kurang lebih 555 hektare RTH atau sekitar 2,6% dari total wilayah Kota Bekasi. Target ini turun drastis dibandingkan perencanaan pemkot Bekasi dalam RTRW 2011-2031 yang menargetkan proporsi 30% RTH atau seluas 6.700 hektare.
Padahal menurut jurnal “Environmental Impacts of Green Open Space in Urban Indonesia: A Difference-in-Differences Analysis“ (2024) yang melakukan studi kasus di area perkotaan Indonesia, RTH bisa menjadi salah satu solusi efektif menyerap dan mengurangi aliran air hujan yang berpotensi menyebabkan banjir.
Jurnal itu menyimpulkan wilayah yang mengalami peningkatan RTH dari 2014 ke 2018 di tiga kota besar (Jakarta, Surabaya, dan Medan) menunjukkan penurunan risiko banjir hingga 30,7%. Sebaliknya, berkurangnya RTH berdampak pada kenaikan risiko banjir hingga 0,5%.
Editor: Aria W. Yudhistira