Tanda Tanya di Balik Rapor Biru Keuangan Garuda
Tanpa perubahan mencolok dalam bisnisnya, Garuda Indonesia mencetak laba pada 2018. Padahal, secara operasional BUMN ini masih merugi seperti 2017. Di baliknya, ada pencatatan tak lazim bernilai jumbo.
Laporan keuangan tahun lalu PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) memantik polemik panjang selama dua pekan terakhir. Persoalan ini mencuat ketika dua orang komisarisnya: Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menolak menandatangani laporan keuangan BUMN tersebut dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) akhir April lalu.
Dua komisaris yang mewakili CT Corp. sebagai salah satu pemegang saham Garuda, menilai pencatatan laporan keuangan maskapai tersebut tidak sesuai dengan standar pencatatan akuntansi. Sebab, ada transaksi yang dicatatkan sebagai pendapatan dan menaikkan laba tahun berjalan perusahaan.
Dalam laporan keuangan audit tahun 2018, Garuda Indonesia mencetak laba US$ 5,01 juta atau setara Rp 70,76 miliar. Padahal, menurut kedua komisaris tersebut, seharusnya Garuda merugi senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS).
Secara usaha dan operasional perusahaan, Garuda masih merugi. Kondisi ini hampir sama dengan tahun 2017. Saat itu, Garuda menderita rugi bersih usaha US$ 150,4 juta. Secara umum, kinerja 2017 ditutup dengan kerugian total tahun berjalan mencapai US$ 213,3 juta.
Pada 2018, rugi bersih usaha Garuda melonjak menjadi US$ 206 juta dan pendapatan usaha mencapai US$ 4,37 miliar. Di sisi lain, beban usaha maskapai penerbangan ini lebih tinggi, yakni US$ 4,58 miliar.
Pendapatan ini disokong oleh penerbangan berjadwal seperti penumpang umum, kargo, bagasi, serta surat dan dokumen sebesar US$ 3,5 miliar. Seluruh bagian pada penerbangan berjadwal ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya US$ 3,4 miliar. Pos operasional penumpang menyumbang 90% dari pendapatan berjadwal atau US$ 3,25 miliar.
Selanjutnya, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal yang terdiri dari pengangkutan haji dan charter menyumbang US$ 266 juta. Pos ini terlihat menurun dari tahun 2017 yang mencapai US$ 301 juta.
Sisanya, pendapatan usaha Garuda diisi oleh pendapatan lain-lain senilai US$ 567 juta yang meningkat dari tahun sebelumnya US$ 473 juta.
Peningkatan pendapatan tahun 2018 belum mampu menutup beban usaha yang juga melambung. Beban operasional penerbangan menyumbang porsi tertinggi hingga 60% dengan nilai US$ 2,7 miliar. Pos ini terdiri atas bahan bakar, sewa dan charter pesawat, gaji hingga asuransi. Bahan bakar masih menjadi beban tertinggi dalam operasional penerbangan Garuda.
Beban terbesar selanjutnya adalah pemeliharaan dan perbaikan yang mencapai US$ 529,4 juta. Pos ini berupa pemeliharaan dan perbaikan pesawat, suku cadang, hingga imbalan kerja para teknisi yang bertugas di dalamnya. Terakhir, beban lainnya seperti biaya bandara, administrasi, dan beban promosi tiket rata-rata berada di bawah US$ 500 juta.
Salah satu penyebab melesatnya laba Garuda tahun lalu adalah pendapatan lain-lain yang mencapai US$ 278 juta. Pos ini tahun sebelumnya hanya sebesar US$ 19,7 juta. Besarnya pos ini berasal dari “pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten” senilai US$ 239,94 juta.
Nilai itu muncul dari sebuah transaksi kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi mengenai penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat serta manajemen konten. Mahata sebagai pihak kedua akan menanggung seluruh biaya penyediaan, pengoperasian hingga pemeliharaan pada seluruh pesawat di bawah Grup Garuda Indonesia.
Kerja sama ini dilakukan dengan PT Citilink Indonesia sebagai entitas anak perusahaan Grup Garuda Indonesia. Total kerja sama Citilink dengan Mahata ini bernilai US$ 211,94 juta. Sisanya, US$ 28 juta dilakukan dengan PT Sriwijaya Air sebagai Kerja Sama Operasional (KSO) dengan Grup Garuda.
Seluruh kontrak dengan dua anak perusahaan itu terdiri atas dua transaksi besar, yakni layanan konektivitas dan layanan hiburan.
Pemasangan layanan konektivitas wireless fidelity (wifi) bernilai US$ 131,94 juta yang terpasang pada 153 armada milik Citilink. Fitur ini tersebar pada 50 unit pesawat A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737-800 NG dan 10 pesawat Boeing 777.
Selanjutnya, biaya kompensasi untuk layanan hiburan dan manajemen konten senilai US$ 80 juta terpasang pada 99 pesawat. Rinciannya: 18 pesawat A330, 70 pesawat 737-800 NG, 1 pesawat 737-800 MAX, dan 10 pesawat Boeing 777.
Sedangkan untuk Sriwijaya Air, pemasangan dan pengelolaan wifi on board pada 50 pesawat Boeing 737 series. Sebanyak 47 pesawat di antaranya sudah dioperasikan oleh Sriwijaya Air, sedangkan 3 sisanya baru akan dikirim pada 2019 dan 2020.
Garuda membukukan transaksi dengan Mahata Aero Teknologi dalam pos piutang sebesar US$ 233,1 juta. Selain itu, dalam pos yang sama terdapat piutang kepada PT Sriwijaya Air sebesar US$ 30,8 juta. Jumlah piutang tersebut bernilai US$ 263,9 juta, artinya terdapat selisih sekitar US$ 23,9 juta dengan pendapatan yang dicatat US$ 239,94 juta.
Meski memiliki nilai yang berbeda, kedua piutang tersebut merujuk pada transaksi yang sama, yaitu layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan dalam pesawat.
Mahata Aero Teknologi ini berdiri pada 3 November 2017. Perusahaan yang berusia kurang dari dua tahun itu memiliki nilai perusahaan (market value) sebesar Rp 10,49 miliar. Angka yang terbilang kecil mengingat perusahaan ini memiliki kontrak hingga triliunan rupiah dengan BUMN besar.
Perusahaan ini bergerak di bidang penyediaan layanan internet pada transportasi udara. Grup Garuda Indonesia juga menyatakan tidak memiliki kerja sama dengan vendor lain terkait layanan hiburan dan konten di dalam pesawat.
Disisi lain, dalam keterbukaan informasi yang diunggah oleh perusahaan atas permintaan pihak Bursa Efek Indonesia (BEI), Garuda Indonesia mengakui pihaknya belum mendapatkan pembayaran dari kerja sama dengan Mahata Aero Teknologi.
Garuda Indonesia menjelaskan, pembayaran seharusnya diterima oleh perusahaan setelah penandatanganan kontrak kerja sama. "Saat ini Mahata sedang dalam proses finalisasi dengan investor," demikian tertulis dalam surat yang ditanda tangani oleh Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Fuad Rizal, Senin (6/5).
Di tengah ketatnya persaingan pada bisnis penerbangan, kondisi keuangan Garuda memang tidak terlalu menggembirakan. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan pendapatan Garuda berkisar 4-8%. Sedangkan pertumbuhan profitabilitasnya malah menunjukkan angka negatif.
Berdasarkan data yang dikutip Bloomberg L.P; dalam 10 tahun terakhir, kerugian Garuda dimulai pada 2014. Saat itu Garuda rugi hingga US$ 370 juta, angka yang sangat besar mengingat sejak 2007 perusahaan ini selalu mencetak keuntungan berkisar US$ 50 juta hingga US$ 100 juta per tahun.
Penurunan performa keuangan sudah dirasakan sejak 2013. Meski masih mencatatkan keuntungan, laba perusahaan turun dari US$ 110,6 juta pada 2012 menjadi US$ 10,8 juta setahun kemudian. Tren ini berlanjut hingga 2014 yang mengalami kerugian hingga ratusan juta dolar AS.
Salah satu penyebab kerugian Garuda saat itu adalah tingginya beban biaya pemeliharaan dan perbaikan yang meningkat hampir 2 kali lipat. Di sisi lain, pendapatan Garuda hanya tumbuh rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Dua tahun kemudian, Garuda mencoba bangkit dan kembali mencetak laba meski tidak terlalu tinggi. Pada 2015 dan 2016, perseroan masing-masing mencetak laba US$ 76,5 juta dan US$ 8,1 juta.
Rapor minus Garuda kembali terjadi pada 2017. Perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia ini kembali merugi US$ 214,9 juta. Kali ini, beban operasional menjadi penyebab utamanya. Dalam laporan keuangan yang dipublikasikan, beban yang meningkat tajam adalah biaya bahan bakar yang tak mampu tertutupi oleh pendapatan.
Berlanjut tahun 2018, secara operasional Garuda Indonesia masih mencatat hasil negatif dari bisnis penerbangan yang menjadi tumpuan utamanya. Namun, secara keseluruhan perusahaan mengklaim sudah untung sebesar US$ 5 juta.
Bergeser pada sisi utang, dalam beberapa tahun terakhir, rasio total utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) perseroan menunjukkan tren kenaikan. Tahun lalu, DER Garuda mencapai 188,3 kali. Artinya, total utang yang ditanggung sudah 188 kali dari modal yang tersedia. DER tertinggi Garuda terjadi pada 2008 dengan 496,8 kali.
Dengan kondisi seperti ini, Garuda memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Perusahaan bukan hanya berusaha meningkatkan pendapatan dan meraup laba, tetapi juga harus mampu menutup utang agar tidak terus naik di masa mendatang.
***