Pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) mengakui kemenangan Pramono Anung-Rano Karno dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta. Pasangan calon nomor urut 1 tersebut memutuskan tidak menggugat hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
“Dengan musyawarah bersama, dengan masukan-masukan dari para tokoh, para ahli dan ketua pimpinan-pimpinan kami. Akhirnya pasangan RIDO memutuskan untuk menerima hasil Pilkada Jakarta yang telah ditetapkan oleh KPU DKI,” kata Ridwan di Kantor DPD Partai Golkar Jakarta Pusat, pada Jumat, 13 Desember 2024.
Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta pada 8 Desember, memutuskan pasangan Pramono-Rano sebagai pemenang Pilkada. Pasangan nomor urut 3 tersebut memperoleh total suara 2,1 juta atau 50,07% dari total suara sah. Sedangkan RIDO hanya memperoleh 1,7 juta suara (39,4%) dan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana memperoleh 495 ribu suara (10,53%)
Pramono-Rano juga berhasil menang di seluruh wilayah Jakarta. Tercatat hanya di dua kecamatan pasangan ini kalah dari RIDO, yakni Cilincing dan Pasar Rebo.
Bagi RIDO, kekalahan ini antiklimaks. Meski didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang menguasai kursi di DPRD Jakarta, serta pernyataan dukungan terbuka dari Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo, ternyata tidak cukup mampu mendongkrak perolehan suara mereka.
Mengapa mereka kalah di Jakarta? Padahal di provinsi lain, pasangan calon yang didukung Istana dan Jokowi, berhasil menorehkan kemenangan yang signifikan. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo Subianto pun berhasil unggul dibandingkan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Sentimen Negatif Dukungan Jokowi dan Prabowo
Menurut Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dukungan Prabowo dan Jokowi tidak mempan mendongkrak suara RIDO. Hasil exit poll menemukan, 34%-38% responden menilai presiden dan mantan presiden tersebut tidak sepantasnya memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon.
Hampir separuh responden mengetahui adanya dukungan Prabowo dan Jokowi untuk RIDO. SMRC kemudian membedakan suara responden yang tahu akan endorsement Prabowo dan Jokowi terhadap RIDO dengan responden yang tidak tahu adanya dukungan ini. Hasilnya, suara RIDO lebih rendah di kalangan mereka yang tahu adanya endorsement.
Angka ini semakin curam di kalangan yang merasa dukungan Prabowo dan Jokowi tidak pantas dilakukan. Menurut exit poll, suara RIDO hanya tersisa 18%-19% pada kelompok responden ini.
“Kalau begitu endorsement itu tidak ada efek positifnya, tidak menaikkan (suara). Justru ada kecenderungan negatif,” kata Direktur Eksekutif SMRC Deni Irvani pada Minggu, 1 Desember.
Menurut Direktur Eksekutif Para Syndicate Virdika Rizky, masyarakat Jakarta memang terlihat lebih rasional dalam memilih pemimpin. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat di sejumlah daerah yang tidak sadar atau tidak terlalu peka terhadap narasi dinasti politik ataupun oligarki.
Selain itu, kinerja mesin parpol KIM Plus di Jakarta juga tidak efektif dalam memberikan dukungan ke RIDO. Hal ini berbeda dengan provinsi-provinsi lain yang mana suara parpol KIM Plus cenderung lebih solid.
Sebagai perbandingan, di bawah ini adalah suara partai terhadap pasangan calon dalam Pilkada Jakarta dan Jawa Timur. Suara parpol terlihat lebih solid di Jawa Timur. Sedangkan di Jakarta, pendukung parpol terpecah-belah.
Perpecahan suara di Jakarta terutama terjadi pada PKS, NasDem, dan PKB. Ketiga partai ini adalah pengusung Anies Baswedan dalam Pilpres 2024. PKS juga sempat mengusungnya menjadi calon gubernur Jakarta, tetapi batal karena memilih bergabung dalam koalisi KIM Plus. Padahal hubungan Anies dan PKS sudah berjalan sejak Pemilihan Gubernur 2017.
Efektivitas Kampanye hingga Dukungan Anies
Parameter Politik Indonesia menilai, salah satu penyebab kekalahan Ridwan-Suswono adalah karena mesin kampanye Pramono-Rano lebih agresif. Temuan Parameter Politik menunjukkan 87,3% responden pernah melihat alat peraga Pramono-Rano berupa spanduk atau baliho. Sedangkan yang melihat alat peraga RK-Suswono hanya 80,5%.
Selain itu, salah satu penyebab penurunan suara RIDO adalah karena meningkatnya ketidaksukaan terhadap berbagai pernyataan yang dianggap kontroversial. Dalam survei data barrier elektabilitas RIDO oleh Parameter Politik Indonesia, ketidaksukaan terhadap pasangan ini terakumulasi mulai dari pandangan bahwa mereka bukan asli Jakarta dan dianggap kurang paham permasalahan Jakarta.
“Ada ketidaksukaan yang terakumulasi dan dianggap sebagai penghinaan terhadap Nabi, terkait pernyataan Suswono pada 26 Oktober 2024 tentang kartu janda,” tulis Parameter Politik yang dirilis pada Senin, 9 Desember.
“Popularitas Suswono yang masih rendah juga memicu keengganan untuk memilih RK-Suswono,” sebut Parameter Politik.
Ketika ketidaksukaan terhadap RIDO semakin berkembang, justru harus berhadapan dengan popularitas dan kesukaan masyarakat terhadap sosok Rano Karno alias “Doel.” Berdasarkan survei Indikator Politik, tingkat kesukaan terhadap Rano mencapai 92,4%, meninggalkan Ridwan Kamil sebesar 74,4%. Sebagai calon Wagub, popularitas Suswono pun tak sebanding dengan Rano.
Lumbung suara Pramono-Rano semakin besar dengan adanya dukungan terbuka dari Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Perhitungan SMRC menunjukkan, suara Pramono-Rano naik 5%-6% di antara mereka yang tahu adanya endorsement dari kedua mantan Gubernur Jakarta tersebut.
Anies memiliki basis pendukung yang besar di Jakarta. Pada Pilpres 2024, Anies berhasil mencatatkan 2,65 juta suara (41,07%), terpaut tipis dari Prabowo yang sebesar 2,69 juta suara (41,67%). Makanya, suara pendukung Anies disebut sebagai salah satu kunci kemenangan dalam Pilkada Jakarta.
Kekecewaan terhadap batalnya Anies menjadi calon gubernur turut menyebabkan pergeseran basis suara pendukung Anies dari RIDO yang didukung PKS ke Pramono-Rano. Pergeseran ini sudah terlihat sejak akhir Oktober 2024, dan terus naik setelah Anies mendeklarasikan dukungan kepada Pramono-Rano secara terbuka pada 21 November.
Meski begitu, kemenangan Pramono-Rano diwarnai oleh rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Pilkada Jakarta 2024 merupakan yang terendah sejak pemilihan langsung digelar pertama kali pada 2007.
Editor: Aria W. Yudhistira