Sejak 2014, pemerintah secara bertahap melakukan pembatasan ekspor komoditas mineral. Pemegang izin usaha pertambangan lalu diwajibkan membangun smelter pengolahan dan pemurnian bijih mineral. Tujuannya, selain meningkatkan nilai tambah, pemerintah ingin mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan setengah jadi.
Program yang dikenal sebagai hilirisasi ini memang telah membawa dampak. Sejak pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020, dan masifnya pembangunan smelter nikel di Tanah Air, terjadi peningkatan nilai dan volume ekspor olahan nikel. Makanya, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto masih mengandalkan program warisan Presiden Joko Widodo ini untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.
Berdasarkan data BPS, ekspor hasil olahan nikel Indonesia masih di 99,6 ton dengan nilai setara US$2,2 miliar pada 2016. Angkanya kemudian melonjak mencapai 1,3 ribu ton dengan nilai setara US$6,8 miliar pada 2022.
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM mengatakan, hilirisasi nikel memberikan keuntungan kepada negara hingga US$30 juta atau sekitar Rp450 triliun, naik 10 kali lipat dibandingkan 2017-2018.
Tidak hanya neraca perdagangan, BKPM menyebutkan, hilirisasi juga memperluas lapangan pekerjaan. Rata-rata pertumbuhan lapangan pekerjaan di sektor hilirisasi mencapai 26,9% tiap tahunnya pada empat tahun terakhir.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan skema arah hilirisasi 28 komoditas yang mencakup delapan sektor sumber daya alam. Pemerintah menargetkan investasi sebesar US$618 miliar atau sekitar Rp9.878 triliun hingga 2040.
Di sektor mineral dan batu bara (minerba), komoditas prioritas yang didorong adalah batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, alumina, emas, dan aspal buton. Potensi investasi dari sektor ini diestimasi mencapai US$427,1 miliar atau sekitar Rp6.620,1 triliun pada 2035.
Sedangkan di sektor minyak dan gas (migas), hilirisasi juga berpotensi meningkatkan investasi hingga US$67,8 miliar (Rp1.050,9 triliun) pada 2035. Sedangkan di sektor perkebunan, laut, perikanan, dan hutan memiliki potensi investasi mencapai US$50,6 miliar (Rp784,3 triliun).
Bahlil mengatakan, hilirisasi akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, tanpa industrialisasi, apakah hilirisasi mampu mendongkrak pertumbuhan mencapai target 8% yang ditetapkan pemerintah? Ini mengingat selama lebih dua dekade, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 5%.
Masih Ekspor Barang Setengah Jadi
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan, belum terlalu berdampaknya hilirisasi terhadap pertumbuhan ekonomi karena saat ini hanya membuat produk setengah jadi.
Hilirisasi nikel misalnya, hanya memproduksi feronikel yang kemudian diekspor ke negara-negara produsen baterai kendaraan listrik. Pengolahan di Indonesia belum mencapai produk akhir seperti stainless steel yang bisa digunakan industri, atau diekspor dengan nilai lebih tinggi.
“Dampak (hilirisasi) terhadap manufaktur hanya sekitar 1% karena hanya berjalan di subsektor industri logam dasar,” kata Andry kepada Katadata.co.id, Senin, 26 November lalu.
Jika ingin mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kencang, pemerintah harus mengarah pada industrialisasi. Menurut penghitungan Next Policy, setidaknya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) harus berada di kisaran 30%.
Namun pada saat ini, kontribusi manufaktur Indonesia justru mengalami penurunan, dari 21,65% pada 2014 menjadi 19,02% pada kuartal III-2024. Sebaliknya, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB meningkat, dari 7,2% menjadi 9,06%. Hal ini menunjukkan fokus hilirisasi masih mendorong sektor pertambangan, tetapi belum sampai pada sektor pengolahan.
Ekonom Faisal Basri pernah mengatakan, hilirisasi pada dasarnya pengolahan lebih lanjut menjadi industri manufaktur. Faktanya, kata dia, pertumbuhan industri manufaktur justru melambat. “Suatu negara akan maju kalau industrialisasinya cepat,” kata dia pada Agustus 2023.
Produk setengah jadi dari hilirisasi juga belum mampu mendorong ekspor produk manufaktur. Meski masih mendominasi struktur ekspor Indonesia, porsi manufaktur terus menurun dari 76,1% pada 2016 menjadi 72,1% pada 2023. Sebaliknya, porsi ekspor sektor pertambangan semakin melebar.
Masih bergantungnya Indonesia terhadap sektor pertambangan, membuat pendapatan negara juga rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Di sisi lain, Indonesia masih menerapkan pembebasan pajak atau tax holiday PPh badan bagi para investor. Tak hanya itu, potensi kehilangan penerimaan pajak juga disebabkan masih belum adanya pajak ekspor bagi produk hilirisasi nikel setengah jadi, seperti feronikel dan nickel pig iron (NPI).
Menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syahrir Ika, dalam “Kebijakan Hilirisasi Mineral: Reformasi Kebijakan untuk Penerimaan Negara,” pemerintah seharusnya bisa meningkatkan penerimaan perpajakan terhadap hilirisasi komoditas-komoditas unggulan, seperti dari pajak pertambahan nilai (PPN), iuran produksi, hingga bea keluar.
Alhasil, penerimaan negara yang selama ini dinikmati Indonesia dari hilirisasi bukan berasal dari perpajakan, melainkan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) minerba. Porsinya PNBP malah terus meningkat menjadi 4,9% dari total penerimaan negara pada 2023.
Menurut laporan LPEM FEB UI “Larangan Ekspor Mineral Indonesia dan Implikasinya” yang dirilis Juni 2023, pemerintah sebenarnya bisa meningkatkan penerimaan negara dengan menerapkan pengenaan bea ekspor. Cara ini juga dilakukan untuk ekspor komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
“Penetapan tarif ekspor selain perlu didorong untuk sebagai kompensasi tax holiday, juga supaya perusahaan berpikir untuk lebih baik mengolah komoditas di Indonesia, daripada baru setengah jadi langsung diekspor,” kata Andry.
Di sisi lain, Indonesia juga belum melakukan kebijakan proteksionisme terhadap barang impor. Akibatnya, sektor manufaktur lebih memilih mengimpor bahan baku dengan harga yang kompetitif dibandingkan menggunakan komoditas olahan dalam negeri.
Hal ini tercermin dalam cadangan devisa Indonesia yang tumbuh tipis meski ekspor dan investasi sektor hilirisasi mengalami pertumbuhan cukup besar. Rasio cadangan devisa Indonesia atas pembiayaan impor atau utang luar negeri Indonesia juga stagnan sejak 2014 berada di kisaran 6,4% sampai 6,5%.
Sinkronisasi dan Momentum Menarik Investor
Andry Satrio Nugroho mengatakan, pemerintah memiliki pekerjaan rumah melakukan sinkronisasi antara sektor hulu dan hilir. Sebab, hilirisasi yang tidak dibarengi dengan kebijakan proteksionisme di sektor hilir membuat investor ragu untuk berinvestasi di sektor manufaktur produk akhir.
“Hal ini membuat investor ragu mau berinvestasi. Apakah mereka cukup kompetitif dengan produk impor yang sekarang sudah ada?” kata Andry.
Keraguan investor ini tercermin dalam data penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang masih menitikberatkan pada sektor industri logam dasar, daripada produk akhir seperti kendaraan bermotor, mesin, dan elektronik.
PMA Indonesia di sektor industri logam dasar pada semester I-2024 mencapai 25,4% dari total PMA sektor industri. Di sisi lain, jika dibandingkan sejak satu dekade lalu, PMA untuk industri kendaraan bermotor dan alat transportasi malah terus menurun dari Rp3,4 triliun pada 2013 menjadi Rp2 triliun pada 2023. Sedangkan PMA industri mesin dan elektronik mengalami stagnasi di sekitar Rp1,1 triliun.
Di sisi lain, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden baru AS pada pemilihan presiden November ini sebenarnya bisa menjadi momentum untuk menarik investor di sektor hilirisasi. “Perang dagang akan terjadi lagi. Cina dan Vietnam pasti akan terkena tarif impor. Pertanyaannya, trade diversion memindahkan pabrik dari Cina dan Vietnam itu ke negara mana?” kata Andry.
Tentunya, kata dia, Indonesia diharapkan dapat menjadi salah satu lokasi yang dipilih. “Jadi sebelum terlambat, harus ada upaya transformatif yang cukup jelas dan cukup konkret,” kata dia.
Editor: Aria W. Yudhistira