Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja keuangan Bank Permata cenderung tertekan dan tak sebaik bank-bank sekelasnya. Sedangkan harga sahamnya sudah tergolong mahal.
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
15 Maret 2019, 08.43

Standard Chartered Plc (Stanchart) berencana melepas kepemilikan asetnya di Indonesia yaitu saham PT Bank Permata Tbk (BNLI). Alasannya, imbal hasil (return) investasinya di tanah air selama ini rendah. Bagaimana sebenarnya kinerja keuangan Bank Permata selama di bawah kendali Stanchart dan PT Astra International Tbk?

Rumor penjualan 45% saham Bank Permata yang dimiliki Stanchart sebenarnya sudah berhembus sejak setahun terakhir ini. Namun, rumor itu baru terkonfirmasi dua pekan lalu, saat bank asal Inggris tersebut mengumumkan strategi bisnisnya secara global dalam tiga tahun ke depan.

Dalam rencana strategi bisnis periode 2019-2021, Stanchart akan meningkatkan target imbal hasil atas modal berwujud atau return of tangible equity (RoTE) secara global menjadi 10% pada 2021, dari saat ini sebesar 5%.

Untuk mencapai target itu, salah satu langkah yang dilakukan adalah mengurangi asset-asetnya di beberapa negara yang dinilai memberikan imbal hasil rendah. Di antaranya adalah Indonesia, India, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab (UAE).

Perjalanan Investasi Standard Chartered

Bank Permata berawal dari penggabungan lima bank yang telah disehatkan pemerintah. PT Bank Bali Tbk melebur dengan empat bank yaitu PT Bank Universal Tbk, PT Bank Prima Express (Primex), PT Bank Artamedia dan PT Bank Patriot.

Pada 18 Oktober 2002, kelima bank yang melebur itu resmi berganti nama menjadi Bank Permata dengan memakai kode BNLI di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kode itu digunakan Bank Bali sejak go public pada 1990.

Masuknya Stanchart bermula dari pelepasan saham milik Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada 2004, konsorsium perusahaan asal Indonesia dan bank asing, yakni Astra International dan StanChart menguasai masing-masing 31,55% saham Bank Permata melalui skema private placement. Total pembelian itu sebesar Rp 1,38 triliun, di mana Stanchart mengeluarkan dana Rp 694 miliar.

Di sisi lain, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) - perusahaan yang menggantikan peran BPPN --juga mendapatkan 26,17% saham Bank Permata dan sisanya 10,73% dimiliki oleh publik.

Belakangan, pada September 2006, konsorsium Stanchart – Astra juga mengambil alih 26,17% saham milik PPA. Nilai pembelian itu mencapai Rp 1,75 trilun, di mana Stanchart mengeluarkan dana Rp 877 miliar.

Selama mengendalikan Bank Permata, Astra dan Stanchart sudah lima kali menambah modalnya melalui skema penerbitan saham baru alias rights issue. Tujuannya agar kepemilikan saham mereka tidak terdilusi.

Hingga rights issue terakhir pada tahun 2017, Astra dan Stanchart sudah mengeluarkan dana masing-masing sebesar Rp 7 triliun.  Saat ini, kepemilikan saham pada Bank Permata masing-masing 44,56%.

Performa Keuangan Bank Permata

Sejak masuknya konsorsium Astra - Stanchart, kinerja keuangan Bank Permata terus berkembang menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia. Saat ini Permata masuk deretan bank BUKU III, yakni kelompok bank yang memiliki modal inti Rp 5-30 triliun.

Sejak 2004, Bank Permata selalu meraup laba dan mengalami pertumbuhan. Padahal, pada 2000 dan 2002, bank ini merugi masing-masing Rp 1 triliun dan Rp 808 miliar. Bahkan, pada saat krisis 1998, membukukan kerugian hingga Rp 2,6 triliun.

Capaian tertinggi Bank Permata terjadi pada 2013 dengan mencetak laba bersih Rp 1,7 triliun. Sayangnya, dua tahun kemudian kinerjanya menurun. Pada 2015, laba bersih Permata turun 84,7% menjadi Rp 244 miliar. Manajemen menyebut penurunan laba bersih karena dampak perlambatan ekonomi dan koreksi terhadap kolektibilitas kredit.

Pada 2016, kredit macet memukul kinerja keuangan Permata sehingga merugi Rp 6,4 triliun. Kerugian ini merupakan yang terbesar dan pertama kali terjadi sejak 2003. Setelah itu, Bank Permata melakukan restrukturisasi kredit dan berhasil bangkit pada 2017 dan 2018 dengan kembali mencetak laba.

Sejalan dengan itu, indikator lain seperti return of equity (ROE) juga mengalami tren serupa. Setelah sempat mencapai 42,7% pada 2004, rata-rata ROE pada rentang 2005 hingga 2015 hanya 14,2%.

Kerugian besar pada tahun 2016 juga turut menekan ROE hingga negatif 38,3%. Lalu pada 2017 dan 2018, ROE perseroan masing-masing sebesar 4,8% dan 4%.

Indikator ROE biasa digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari dana investasi para pemegang saham. Semakin tinggi, maka perusahaan tersebut semakin menguntungkan bagi investor.

Tingkat keuntungan ekuitas yang hanya 4% pada tahun lalu tersebut tentunya tak sejalan dengan rencana Stanchart yang mematok standar imbal hasilnya secara global sebesar 5% tahun ini. Bahkan, akan meningkat menjadi 10% pada 2021.

Selain itu, jika dibandingkan bank lain di kelompok BUKU III, performa Bank Permata dalam lima tahun terakhir juga tidak terlalu cemerlang. Bank Tabungan Negara (BBTN), Bank Danamon (BDMN), Bank CIMB Niaga (BNGA) dan Bank Maybank Indonesia (BNII) mencetak kinerja lebih baik dibandingkan BNLI.

Laba bersih empat bank tersebut terus tumbuh rata-rata Rp 2,2 triliun per tahun. Rata-rata ROE yang dicetak beberapa bank sekelas Permata sekitar 8,79%. Sedangkan rata-rata ROE Permata hanya 3,1%.

Harga Saham Relatif Mahal

Selain performa keuangan, harga saham Bank Permata menjadi perhatian para investor. Sejak isu penjualan saham berhembus akhir tahun lalu, harga saham BNLI sudah melonjak 67,20% year to date.

Awal tahun ini, harga saham BNLI Rp 595 per saham. Sempat menyentuh harga tertinggi Rp 1.280 pada pertengahan Februari lalu, per 11 Maret 2019 harga saham BNLI sebesar Rp 1.045.

Jika dilihat dari indikator rasio harga saham seperti Price Earning Ratio (PER) dan Price Book Value (PBV), saham BNLI dihargai lebih mahal dibandingkan saat akuisisi oleh konsorsium Astra dan Stanchart. Pada 2004, BNLI dihargai PBV 2,4 kali dan PER 9,38 kali. Sedangkan pada 2018 kedua indikator tersebut sudah meningkat menjadi 1,36 kali dan 34,22 kali.

PBV menggambarkan harga saham di pasar terhadap nilai buku sebuah perusahaan. Sedangkan PER adalah indikator harga saham terhadap laba bersih. Semakin tinggi angkanya, dapat diartikan perusahaan itu dihargai lebih besar dari nilai bukunya dan juga laba bersih per saham yang diraihnya.

Dibandingkan dengan bank sekelasnya, memang harga saham BNLI relatif lebih tinggi dalam 5 tahun terakhir, terutama pada nilai PER. Sedangkan berdasarkan PBV, BNLI dihargai relatif sama dengan BNII, namun lebih mahal dibanding BNGA dan lebih murah jika dibandingkan BBTN dan BDMN.

Dengan harga pasar saat ini di angka Rp 1100 per lembar, Stanchart diperkirakan dapat meraup dana sekitar Rp 13,7 trilun untuk 44,56% saham Bank Permata yang dilepasnya. Jika dibandingkan dana yang dikeluarkan selama menjadi pemegang saham mayoritas, nilai ini sudah membawa keuntungan sekitar Rp 5,9 triliun.

Jika mengacu kepada performa keuangan Bank Permata yang cenderung tertekan namun memiliki harga saham di pasar yang relatif tinggi saat ini, bisa jadi Stanchart memang memanfaatkan momentum tersebut untuk melepaskan kepemilikannya.

***

Editor: Nazmi Haddyat Tamara