Harga kopi dunia mengalami kenaikan dalam dua bulan terakhir. Puncak tertinggi harga kopi robusta berjangka London menyentuh angka US$4.546 per ton pada penutupan perdagangan 25 April lalu. Meski pada perdagangan 24 Mei 2024 sudah turun ke angka US$3.904 per ton, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan Mei tahun lalu.
Moelyono Soesilo, Ketua Departemen Kopi Specialty dan Industri Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), menilai kondisi ini disebabkan makin tingginya konsumsi kopi. Sementara, produksi tidak mampu memenuhi permintaan akibat masalah iklim.
“Konsumsi naik dan el nino membuat produksi kopi minim. Masalah ini juga terjadi di Brasil,” kata dia kepada Katadata pada 27 Mei 2024.
Keterangan Moelyono sejalan dengan data International Coffee Organization (ICO) yang memprediksi konsumsi kopi global pada 2023-2024 mengalami kenaikan. Per Desember 2023, ICO mencatatkan angka estimasi konsumsi kopi global sebesar 176,9 juta kantong berbobot 60 kilogram. Angka ini naik 2,2% dari capaian 2022 hingga 2023 yang sebanyak 173,1 juta kantong.
Jika dilihat berdasarkan konsumsi per wilayah, ICO menemukan lonjakan konsumsi kopi tertinggi dalam lima tahun terakhir terjadi di wilayah Asia. Dengan permintaan yang begitu tinggi dalam dua tahun terakhir, yakni pertengahan 2021 hingga pertengahan 2023, produksi kopi global sedang berada di bawah angka konsumsi global.
Dibandingkan semua wilayah penghasil kopi, Asia menjadi wilayah yang angka produksi dan konsumsi kopinya semakin setara dalam lima tahun terakhir. Artinya angka konsumsi kopi oleh penduduk Asia semakin setara dengan besaran produksinya.
Sementara itu United States Department of Agriculture (USDA) mencatat Cina mengalami kenaikan tertinggi sejak tiga tahun terakhir di wilayah Asia.
Budaya Ngopi di Balik Meningkatnya Konsumsi Cina
Pertumbuhan permintaan kopi dari Cina berdasarkan data ICO dan USDA sejalan dengan hasil analisis Mordor Intelligence. Analisis tersebut memetakan kapitalisasi pasar dari industri kopi di Cina semakin masif dan diprediksi menguat hingga 2029.
Mordor Intelligence mencatat bahwa permintaan kopi di Cina dapat dikaitkan dengan ketahanan jaringan kopi domestik dan internasional seperti, Luckin Coffee dan Starbucks.
Bahkan pendapatan Luckin Coffee yang merupakan perusahaan kedai kopi berbasis supply chain berhasil melibas pendapatan dari penjualan kopi Starbucks pada 2023.
Cina bukannya tak punya kemampuan memproduksi kopi sendiri, tetapi tingkat permintaan melampaui kemampuan produksi. Sejak 2019, ketimpangan antara produksi dan konsumsi kopi Cina semakin tinggi. Untuk itu Cina melakukan impor kopi besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan domestiknya.
USDA mencatat volume impor kopi Cina memang meningkat hingga tahun 2022-2023. Cina juga menjadi satu-satunya negara yang memiliki tren kenaikan volume impor kopi selama empat tahun terakhir. Meski begitu, USDA justru memproyeksikan impor kopi cina akan turun pada 2023-2024.
Ethiopia dan Vietnam merupakan negara pemasok kopi terbesar ke Cina. Pada 2022, volume impor dari Ethiopia mencapai 30.000 ton, sedangkan Vietnam sebesar 23.290 ton.
Vietnam adalah sentra kopi robusta terbesar yang saat ini produksinya merosot. Mengutip laporan Nikkei Asia, saat ini banyak petani kopi yang beralih ke buah durian yang dinilai lebih menjanjikan.
Petani kopi Vietnam mengaku, semakin tingginya permintaan dari Cina ditambah masalah iklim membuat mereka sulit memenuhi kebutuhan pasar. Apalagi, World Integrated Trade Solution (WITS) dari Bank Dunia mencatat bahwa Vietnam memang menjadi pemasok besar global untuk komoditas kopi.
WITS mencatat setidaknya sejak 2019-2022 ada 75 negara yang mengimpor kopi dari Vietnam. Setiap tahun jumlah ekspor kopi Vietnam bahkan selalu berada di atas 1,1 juta ton.
Menurut Moelyono, petani yang yang beralih menanam komoditas lain juga terjadi di Indonesia. Akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak Vietnam. Menurut dia, karena banyak petani yang memang tidak fokus hanya menggarap kopi.
“Banyak petani yang juga menanam lada, pisang, alpukat, durian atau pepaya juga ada. Sudah jarang petani yang hanya fokus menanam kopi,” kata dia.
Peluang Merebut Pasar Kopi dari Vietnam
Indonesia merupakan produsen kopi tertinggi ketiga di dunia. Pada tahun produksi pertengahan 2022 hingga pertengahan 2023, Statista mencatat bahwa produksi kopi Indonesia berada di angka 711 ribu ton.
Meski berada di peringkat tiga dalam produksi kopi, dari segi luas panen kopi posisi Indonesia di peringkat dua dunia. Luasnya berada di angka 1,2 juta hektare, berada di bawah Brasil dengan 1,8 juta hektare.
Vietnam yang sama-sama berada di wilayah Asia dan dapat menjadi produsen kopi terbesar kedua di dunia justru hanya memiliki luas panen yang tak sampai 1 juta, tepatnya hanya 650 ribu hektare saja. Artinya, produktivitas kopi Indonesia masih kalah meski memiliki lahan panen kopi dua kali lipat dari Vietnam.
Meski begitu, tren produksi kopi Indonesia pada 2022-2023 terbilang naik, jumlahnya mencapai 711 ribu ton. Jumlah ini melampaui angka konsumsi yang jauh lebih kecil, yakni 286 ribu ton saja.
Sebagai salah satu produsen besar kopi dunia, neraca ekspor impor Indonesia masih tergolong positif. Pasalnya, pada volume ekspor kopi Indonesia jauh lebih besar ketimbang volume impornya. Pada 2022-2023 volume ekspor kopi Indonesia sebesar 527,5 ribu ton, jumlah ini bahkan menjadi yang paling tinggi dalam empat tahun terakhir.
Sementara, jumlah ekspor kopi Indonesia diprediksi menurun pada 2023-2024 hingga ke angka 363 ribu ton. Impornya diperkirakan meningkat menjadi 86,4 ribu ton, akan menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
“Ini karena konsumsi yang makin banyak dan panen mundur,” kata Moelyono. Panen mundur ini disebabkan el nino.
WITS mencatat bahwa ekspor kopi Indonesia ke Cina sejak 2019 hingga 2022 tercatat meningkat. Namun, tetapi tingginya permintaan kopi dari Cina terlihat tidak mempengaruhi Indonesia.
Hal tersebut dilihat dari faktor bahwa Indonesia bukan pemasok utama permintaan kopi Cina. Selama lima tahun terakhir, Amerika Serikat merupakan importir kopi terbesar dari Indonesia.
Moelyono menilai bahwa pemenuhan permintaan kopi dari Cina tidak akan berdampak besar pada Indonesia seperti Vietnam. Alasannya, karena penurunan produksi di Vietnam disertai dengan pertumbuhan industri kopi dalam negerinya. “Industri kopi dalam negeri di Vietnam yang banyak beralih ke cold brew,” kata dia.
Selain itu, menurut Moelyono, penurunan produksi Vietnam juga disebabkan karena lahan yang sudah tidak sesubur dulu. “Kalau kita lihat sendiri, lahan pertanian Vietnam itu sudah tidak growing” ujar dia.
Mantan direktur eksekutif PT Sumber Kurnia Alam yang kini mengelola perusahaan kopinya sendiri itu, menjelaskan bahwa merosotnya produksi Vietnam ini bisa berdampak baik untuk Indonesia.
Untuk memanfaatkannya, menurut dia, Indonesia perlu melakukan perluasan lahan dan peningkatan produktivitas. “Dengan begitu, kita bisa jadi supplier terbesar untuk dunia” ujar dia.
Editor: Aria W. Yudhistira