Presiden Joko Widodo meragukan bahwa lapangan kerja untuk 800 juta orang akan hilang akibat otomatisasi dan teknologi robot pada 2030. Dengan perencanaan dan antisipasi yang tepat, Presiden Jokowi meyakini hilangnya jutaan pekerjaan tersebut bisa dihindari (Katadata, 4/4). Apabila melihat komputer semakin hari semakin mampu mengerjakan tugas-tugas manusia yang kompleks, apakah Presiden Jokowi terlalu optimistis?
Hasil penelitian McKinsey Global Institute menunjukkan sekitar 30 persen tugas dari dua pertiga jenis pekerjaan akan dapat digantikan oleh teknologi seperti robot atau kecerdasan buatan. McKinsey memprediksi otomatisasi tersebut akan mengakibatkan hilangnya 3-14 persen profesi pada 2030. Sekitar 75 hingga 375 juta tenaga kerja di dunia harus berganti bidang mata pencaharian.
Lompatan teknologi yang “mengancam” ketersediaan lapangan kerja sebenarnya bukan permasalahan baru. Sebelum revolusi industri 4.0, penemuan teknologi mesin uap memicu revolusi industri 1.0 pada abad ke-18, manufaktur massal menandai revolusi industri 2.0 pada abad ke-19, dan revolusi industri 3.0 atau revolusi digital terjadi pada abad ke-20. Setiap kali teknologi muncul dan melonjak, permintaan tenaga kerja manual pun menyusut.
Manusia Vs. Mesin
Masyarakat secara intuitif mengkhawatirkan terjadinya pengangguran massal karena pekerjaan-pekerjaan tertentu digantikan oleh teknologi komputer, robot dan mesin. Akan tetapi, data World Bank menunjukkan bahwa persentase pengangguran global tidak pernah naik secara signifikan sejak 1991 hingga kini, kecuali selama resesi 2008. Padahal, penggunaan teknologi maupun jumlah angkatan kerja terus meningkat pada jangka waktu tersebut.
Pekerjaan-pekerjaan yang dapat diotomatisasi memang mati perlahan, tapi jenis-jenis profesi baru akan lahir. Misalnya, lapangan kerja baru muncul di bidang yang berhubungan dengan perancangan dan pengoperasian teknologi itu sendiri, seperti computer programmer dan user interface designer.
Transisi bidang lapangan kerja terlihat pada data proporsi pekerja per sektor menurut World Bank. Dari grafik 2, terlihat bahwa sebelum 1997, sektor agraris merupakan bidang mata pencaharian terbesar penduduk dunia, diikuti oleh sektor jasa, dan kemudian industri. Namun, persentase pekerja sektor agraris terus menurun dari 42 ke 29 persen, sementara persentase pekerja sektor jasa terus meningkat dari 37 ke 49 persen.
Akhirnya pada 1998, sektor jasa menjadi bidang mata pencaharian mayoritas penduduk dunia, sedangkan sektor agraris turun ke posisi kedua. Menariknya, persentase pekerja sektor industri manufaktur yang biasanya paling terdampak otomatisasi, justru cenderung stagnan pada kisaran 21 persen selama 25 tahun terakhir.
Transisi Lapangan Kerja Berbeda Antarnegara
Tidak semua negara di dunia mengalami pola transisi lapangan kerja yang sama. Transisi di negara-negara dengan pendapatan lebih rendah cenderung tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain berpendapatan lebih tinggi. Bahkan, di negara-negara berpendapatan paling rendah hingga kini belum menunjukkan adanya transisi di sektor-sektor lapangan kerja.
Persentase pekerja di sektor agraris (67 persen), jasa (25 persen), dan industri (8 persen) tidak berubah signifikan selama 25 tahun terakhir. Absennya transisi lapangan kerja mengindikasikan bahwa revolusi industri belum banyak menyentuh negara-negara dengan pendapatan terendah.
Sementara di negara-negara berpendapatan menengah-bawah, berdasarkan data transisi lapangan kerja per sektor terlihat bahwa revolusi industri baru saja menghampiri. Selama 25 tahun terakhir, persentase pekerja sektor agraris terus menurun. Sementara persentase pekerja sektor jasa dan industri terus meningkat. Pola proporsi pekerja di kedua sektor tersebut baru mulai bertransformasi pada 2016, hampir 20 tahun setelah rata-rata global. Perbedaan lain dengan tren dunia adalah peningkatan persentase pekerja sektor industri manufaktur, meskipun landai.
Adapun di negara-negara dengan pendapatan menengah-atas, pergeseran pekerjaan dari agraris menjadi jasa sudah terjadi sejak 2001. Persentase pekerja di sektor agraris pun terus menurun hingga dilampaui sektor manufaktur pada 2016.
Pola transisi lapangan kerja di Indonesia terbilang berada di level pendapatan “menengah-menengah”. Transisi lapangan kerja sudah terjadi pada tahun 2007 atau sembilan tahun lebih dulu dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah-bawah, meskipun terlambat tujuh tahun dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah-atas. Sebelum 2007, sektor agraris merajai proporsi pekerja di Indonesia. Setelah itu, sektor jasa menggantikan sektor agraris sebagai bidang pekerjaan terbesar. Sementara, tren pekerja sektor industri manufaktur meningkat tipis.
Evolusi dan Masa Depan Lapangan Kerja
Peringkat lapangan kerja mayoritas di negara-negara berpendapatan menengah langsung berubah dari agraris menjadi jasa. Artinya, negara-negara tersebut tidak mengalami masa awal revolusi industri yang masih membutuhkan banyak pekerja. Sementara di negara-negara dengan pendapatan tinggi, revolusi industri telah mengubah perekonomian agraris menjadi industri manufaktur lebih dari seabad yang lalu. Semakin canggih teknologi, permintaan pekerja industri manufaktur pun berkurang, sehingga pekerja-pekerja di negara-negara berpendapatan tinggi beralih ke sektor jasa.
Selama lebih dari 25 tahun terakhir, tidak terjadi perubahan peringkat pekerja per sektor di negara-negara dengan pendapatan tinggi. Sebagian besar penduduk negara-negara tersebut bekerja di sektor jasa (70 persen), diikuti oleh industri (26 persen) dan agraris (4 persen). Persentase pekerja per sektor di negara-negara berpendapatan tinggi lebih cenderung menunjukkan proses transisi lapangan kerja yang terkontrol, bukan stagnansi seperti yang terjadi di negara-negara berpendapatan rendah. Persentase pekerja sektor jasa di negara-negara tersebut cenderung naik tipis, berkebalikan total dengan persentase pekerja sektor agraris dan industri yang menurun perlahan.
Tren dunia menunjukkan bahwa sektor jasa akan menjadi bidang pekerjaan utama di masa depan. Ketika teknologi membantu efisiensi sektor agrikultur dan manufaktur, harga barang pun semakin terjangkau. Akibatnya, waktu dan tenaga manusia tidak habis untuk memenuhi kebutuhan pokok. Manusia akan mulai mencari pemenuhan kebutuhan gaya hidup. Hal tersebut akan mendorong perkembangan sektor perekonomian tersier seperti pariwisata, film, seni masakan, fesyen, atau perawatan tubuh pun semakin berkembang. Produk-produk jasa tersebut membutuhkan kreativitas dan kecerdasan emosional manusia, sehingga sulit diotomatisasi atau diganti oleh komputer, robot dan mesin.
Ayu Siantoro mengisi posisi periset madya pada divisi Riset dan Publikasi.
Visualisasi data ini dibantu oleh Nazmi Haddyat Tamara, data analis Katadata.
Editor: Ayu Siantoro