Alasan IDI Tak Percaya Riset Cuci Otak Terawan di Unhas

Image title
5 April 2022, 10:55
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (10/12/2020).
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (10/12/2020).

Rekomendasi pemecatan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) dr. Terawan Agus Putranto secara permanen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan buntut dari penggunaan terapi cuci otak yang dikembangkan dari digital subtraction angiopgraphy (DSA) . 

Metode DSA yang digunakan Terawan, sebelumnya telah ia tuangkan dalam disertasi saat mendapatkan gelar doktor di Universitas Hasanuddin (Unhas).

Meski demikian, IDI masih menyangsikan metode tersebut, bahkan menganggap penelitian yang dilakukan Terawan memiliki kecacatan. Hal ini yang menjadi alasan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI memberikan sanksi pemberhentian sementara dari keanggotaan IDI pada 2018, dan kini berkembang menjadi pemberhentian secara permanen.

"Uji klinik yang benar akan mengatakan, kita sulit sekali menerima kesahihan penelitian yang tanpa pembanding. Ini adalah desain penelitian yang cacat besar sebetulnya," kata anggota MKEK IDI, Rianto Setiabudy, saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IX DPR, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/4).

Lebih jauh, Rianto menjelaskan bahwa uji klinik yang baik semestinya mengacu pada manfaat yang benar-benar dirasakan pasien. Misalnya, seseorang yang awalnya tidak bisa mengurus diri sendiri, kemudian bisa mengurus diri sendiri.

Contoh lainnya, seseorang yang tadinya tidak bisa berjalan, kemudian bisa berjalan. Sementara Terawan menggunakan tolok ukur keberhasilan menggunakan parameter pengganti, yaitu terjadinya pelebaran pembuluh darah.

MKEK IDI pun lantas mempertanyakan keabsahan penelitian disertasi milik Terawan. Rianto kemudian menyebutkan bahwa tim pembimbing disertasi sebenarnya mengetahui adanya celah pada penelitian Terawan.

"Saya mengatakan, dengan hormat saya pada Unhas dan tim pembimbing mereka, karena mereka sebetulnya sejak semula tahu weakness ini. Cuma mereka terpaksa mengiyakannya karena konon, ada tekanan eksternal yang saya tidak tahu itu bentuknya apa," ucap Rianto.

Merespons pernyataan IDI, anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, mendorong IDI agar menyampaikan temuan mengenai kecacatan penelitian tersebut dalam bentuk publikasi ilmiah, dan tidak dengan menyebarkan retorika.

Hal itu disampaikannya agar ada transparansi di tengah masyarakat. "Mestinya, buku dijawab dengan buku. Ilmiah dengan ilmiah. Jangan dijustifikasi seolah olah itu etik," kata Handoyo.

Selain itu, Handoyo juga sempat mengeluarkan pernyataan agar IDI dibubarkan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Senin (4/4). Dia berdalih, mengutip pernyataan tersebut dari tren topik di media sosial. "Saya menyampaikan dimulai dari dua kata dulu: bubarkan IDI!" Katanya.

Ketua Umum IDI, Adib Khumaidi, langsung memberikan jawaban mengenai usulan membubarkan IDI. 

Menurutnya, membubarkan organisasinya tidak dapat dilakukan serta-merta. Sebab, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 memperkuat posisi IDI sebagai lembaga profesi kedokteran di Indonesia. Namun, dia berjanji bakal membenahi organisasinya secara internal agar lebih baik lagi.

"Sekali lagi tentunya ada transformasi organisasi secara internal yang juga akan kami perbaiki," janji Adib.

Sebelumnya, Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, dr. Beni Satria, menjelaskan empat pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang menjadi alasan pemberhentian terhadap Terawan.

Dimulai dengan Pasal 4 KODEKI yang melarang dokter untuk memuji diri secara pribadi, serta mengaku-ngaku sebagai penyembuh. Kemudia, Pasal 6 KODEKI, yang mengatur agar bijak terhadap penemuan baru. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Selanjutnya Pasal 3 KODEKI, yang menjelaskan ketika melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Lebih khusus pasal 3 ayat 17 KODEKI, yang berbunyi, "Seorang dokter seyogyanya tidak menarik honorarium sejumlah yang tidakpantas dan bertentangan dengan rasa kemanusiaan." 

Terakhir, Pasal 18 KODEKI, yang mensyaratkan dokter menjunjung tinggi kesejawatan, sehingga setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan secara pribadi.

Reporter: Ashri Fadilla

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...