Harga Tinggi jadi Alasan Publik Kesulitan Akses Minyak Goreng
Di tengah proses hukum terhadap kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menemukan bahwa mayoritas publik masih merasa kesulitan memperoleh minyak goreng. Jumlahnya mencapai 54,3% responden.
Meski begitu, temuan itu menunjukkan perbaikan, karena pada periode survei sebelumnya pada April, jumlah responden yang mengakut mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng mencapai 74,9%.
“Sebulan berikutnya menurun sangat cepat, tapi mayoritas masih mengalami kesulitan, yaitu terutama karena harga yang kurang terjangkau,” ujar Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi, dalam Rilis Survei Nasional Kepercayaan Publik terhadap Lembaga-Lembaga Penegak Hukum dan Agenda Pemberantasan Korupsi pada Rabu (8/6).
Dalam penelitian ini terungkap, 71,4% responden mengaku sulit mendapatkan minyak goreng karena harganya terlalu tinggi menurut mereka. Sementara 27,6% kesulitan memperoleh minyak goreng terkait ketersediaan barang.
Dalam pertanyaan lanjutan, 46% responden menilai harga minyak goreng masih terlalu mahal untuk mereka, dan 17% merasa tidak terjangkau sama sekali. Sementara 30,3% merasa harganya sudah terjangkau, dengan 4% merasa sangat terjangkau.
Dalam persoalan penuntasan kasus dugaan korupsi minyak goreng yang ditangani Kejaksaan Agung, mayoritas responden mendukung upaya lembaga penegak hukum untuk menuntaskannya. Dari seluruh responden, hanya 6,7% yang kurang mendukung dan 3,4% tidak mendukung sama sekali. Berbanding cukup jauh dengan yang mendukung sebesar 46,2% serta sangat mendukung 34%.
Menurutnya, isu ini kelangkaan minyak goreng berpotensi menghambat perbaikan kondisi ekonomi nasional, terutama setelah meredanya pandemi Covid-19. Hal ini disebabkan sifatnya yang masif terhadap warga nasional. Selain itu, ada dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di balik kelangkaan yang terjadi, sehingga isu ini memiliki dampak meluas terutama menyangkut penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan stabilitas politik.
“Hal ini yang menjelaskan mengapa kemudian dukungan publik sangat besar diberikan kepada Jaksa Agung dalam memerangi mafia minyak goreng,” kata Burhan.
Untuk diketahui, dalam kasus dugaan korupsi CPO ini Kejaksaan Agung telah menetapkan lima tersangka, yang terdiri dari satu pejabat pemerintahan, tiga pejabat perusahaan swasta, serta satu dari pihak konsultan.
Dari pemerintah, kejaksaan menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag), Indrasari Wisnu Wardhana. Sementara tiga tersangka dari swasta adalah: Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group, Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Parulian Tumanggor; serta General Manager PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang. Terakhir, adalah Penasehat Kebijakan Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati.
Selain memproduksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), tiga korporasi sawit yang namanya terseret dalam kasus dugaan korupsi terkait ekspor CPO, juga memproduksi biodiesel.
Ketiga korporasi tersebut adalah PT Musim Mas, PT Wilmar Nabati Indonesia, dan Permata Hijau Group.
Mengutip data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), ketiga perusahaan ini memiliki total kapasitas produksi biodiesel sebesar 3,19 juta ton tiap tahunnya.
Metode survei IPI kali ini dilakukan dengan wawancara melalui sambungan telepon pada 18 hingga 24 Mei 2022. Populasi survei adalah seluruh warga negara Indonesai (WNI) yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah dan memiliki telepon seluler. Adapun pemilihan sampel, dilakukan menggunakan metode random digit dialing (RDD), yaitu pemilihan nomor telepon secara acak, kemudian tim IPI memvalidasi subyek dengan mematikan telah memiliki hak pilih. Setelah itu baru dilakukan seleksi.
Dari proses tersebut, IPI akhirnya menentukan 1.213 sampel, dengan margin of error atau tingkat eror dari survei ini mencapai 2,9% dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%.