Pentingnya Infrastruktur Hilir Sebelum Larang Ekspor Timah dan Bauksit
Sejumlah pengamat energi menilai pemerintah harus menyiapkan infrastruktur hilirisasi sebelum menerapkan larangan ekspor timah batangan dan washed bauxite pada 2023. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk memberikan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak dan mempermudah perizinan operasi bagi perusahaan luar dan dalam negeri.
Persiapan infrastruktur dan insentif dinilai dapat menarik investor, serta menjamin kedua mineral tersebut terserap pasar domestik.
Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini 98% balok timah yang diproduksi di Indonesia masih ditujukan untuk pasar ekspor. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai eksportir timah terbesar di dunia. Sementara 2% sisanya, untuk pasar domestik.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan langkah pemerintah untuk menghentikan ekspor timah batangan dan washed bauxite merupakan hal positif. Menurutnya, inisiatif pemerintah untuk mengolah komoditas itu menjadi sebuah produk di dalam negeri dapat menaikkan nilai jual untuk kemudian dijual ke pasar internasional maupun domestik.
"Ini inisiatif yang baik karena sebelumnya paradigma dari para pengusaha pertambangan nikel bauksit dan timah itu selalu keruk dan jual, atau keruk langsung ekspor. Ini yang bikin nilai jualnya rendah," kata Fahmy saat dihubungi Kamis (23/6).
Fahmy berharap, sebelum wacana itu diterapkan, pemerintah sudah siap dengan penyediaan infrastruktur dan paket kebijakan yang menunjang proses hilirisasi timah dan bauksit. Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Antam atau PT Timah dirasa mampu untuk menjadi pelopor dalam melaksanakan investasi di bidang hilirisasi.
"Larangan ekspor dalam jangka pendek memang akan menurunkan ekspor, tapi jangka menengah dan jangka panjang setelah dihilirkan jadi produk tertentu, dia akan punya nilai tambah yang lebih besar, yang berimplikasi pada kapasitas produksi yang semakin besar," ujar Fahmy.
Senada dengan Fahmy, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyampaikan, pemerintah harus membangun industri dalam negeri agar hasil hilirisasi produk timah dan bauksit bisa terserap di pasar domestik.
Pasalnya, pangsa ekspor di angka 98% merupakan jumlah yang cukup besar. "Jangan sampai ketika arahan ini dilakukan, ternyata pasar dalam negeri masih belum siap," kata Mamit saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (23/6).
Lebih lanjut, kata Mamit, agar penyerapan hilirisasi timah dan bauksit di dalam negeri berlangsung optimal, pemerintah juga disarankan untuk melarangan industri dalam negeri untuk mengimpor dua komoditas mineral tersebut.
Mamit menduga, salah satu sebab minimnya penyerapan balok timah yang diproduksi di Indonesia adalah para pengusaha di dalam negeri masih suka mengimpor timah ingot dari negara lain, karena harganya lebih murah.
"Jika melarang ekspor, perlu kiranya industri dalam negeri juga harus dilarang impor dari luar, sehingga produk yang dihasilkan oleh peroduksi dalam negeri bisa diserap oleh industri dalam negeri," ucap Mamit.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian ESDM berencana melarang ekspor timah dalam bentuk ingot atau timah batangan. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Ridwan Djamaluddin, mengatakan pihaknya sedang menyusun dokumen kajian untuk diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Kalau nanti betul-betul ekspor dalam bentuk ingot dilarang, berarti kita harus siapkan industri pengolahannya dalam jumlah yang masif," ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Selasa (21/6).
Direktur Utama PT Timah, Achmad Ardianto menyampaikan perlu adanya perbaikan dalam ekosistem hulu sampai hilir di sektor timah. Pasalnya, kapasitas smelter milik PT Timah yang memiliki kapasitas 50 ribu ton tahun, tidak dibarengi dengan suplai timah yang masuk ke smelter.
Dia menjelaskan, ada sejumlah bijih timah yang ditambang dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah yang tak diserahkan ke Smelter milik PT Timah. Akibatnya, tahun lalu PT Timah hanya sanggup mengolah 26 ribu ton bijih timah dari kapasitas smelter yang mencapai 50 ribu ton. "Akibatnya kami overheat, dan dengan harga timah yang tidak terlalu menguntungkan. Bagi kami itu menggerus keuangan kami dan itu membahayakan," kata Ardianto.
Selain timah batangan, Kementerian ESDM juga akan menghentikan ekspor bauksit pada 2023. Adapun bauksit yang nantinya akan dilarang untuk dijual ke luar negeri adalah bauksit yang sudah menjalani proses pencucian atau washed bauxite.