Ekonomi Cina Melemah Sejak Bulan Lalu, Apa Penyebabnya?

Aryo Widhy Wicaksono
19 Agustus 2022, 05:55
Seorang petugas keamanan bersiaga di depan Balai Agung Rakyat, Beijing, pada pembukaan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China (CPPCC), Kamis (4/3/2021).
ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/HP.
Seorang petugas keamanan bersiaga di depan Balai Agung Rakyat, Beijing, pada pembukaan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat China (CPPCC), Kamis (4/3/2021).

Indikator ekonomi Cina pada Juli lalu mengungkapkan terjadinya perlambatan dalam output industri, penjualan ritel, dan investasi aset tetap, seiring pemulihan negara tersebut setelah berbulan-bulan dalam kondisi lockdown akibat Covid-19 dan prospek ekonomi makro global yang memburuk.

Menurut laporan Straits Times, Goldman Sachs Group dan Nomura Holdings telah menurunkan perkiraan mereka untuk pertumbuhan ekonomi Cina, akibat krisis pasokan listrik yang menambah ketidakpastian terhadap prospek ke depan.

Goldman Sachs menurunkan proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto menjadi 3% dari 3,3%, dengan mengutip data ekonomi Juli yang lebih lemah dari perkiraan, serta kendala energi jangka pendek. Sedangkan Nomura, memangkas perkiraannya menjadi 2,8% dari 3,3%.

Perlambatan Cina semakin dalam pada Juli karena kemerosotan properti yang memburuk dan lockdown Covid-19 yang terus mengekang aktivitas bisnis dan konsumen.

Bank sentral secara tak terduga memangkas suku bunga minggu ini untuk membantu mendorong pertumbuhan, sementara pemerintah daerah akan menjual lebih banyak obligasi untuk meningkatkan pengeluaran.

Menyitir Reuters, pelambatan ekonomi juga turut terasa ke sektor industri. Tencent, pemilik aplikasi WeChat, dalam laporan triwulan kedua mengatakan telah mencatatkan penurunan penjualan untuk pertama kalinya. Pendapatan dari game online menurun baik di dalam maupun di luar negeri sebesar 1%.

Perusahaan pun menutup beberapa bisnis mereka yang tidak menguntungkan, dan menjanjikan adanya pertumbuhan meski ekonomi sedang lemah.

Presiden Tencent, Martin Lau, menyatakan Cina tidak mengeluarkan peraturan baru tahun ini yang merugikan industri secara material.

Menurutnya, perusahaan telah menutup bisnis sekunder di berbagai bidang, seperti pendidikan online, e-commerce dan streaming langsung game. Kemudian merasionalisasi bisnis yang memiliki kinerja buruk, serta memangkas biaya pemasaran secara signifikan, kata Lau dikutip Reuters.

Dia juga berharap akun video Wechat, platform saingan Tiktok milik ByteDance, untuk meningkatkan penjualan iklan dan menjadi pendorong pendapatan yang besar.

"Kami percaya dengan tiga rangkaian inisiatif yang diambil bersama-sama, kami dapat mengembalikan bisnis ke pertumbuhan pendapatan secara tahunan, bahkan jika lingkungan makro tetap seperti sekarang ini," kata Chief Strategy Officer Tencent James Mitchell.

Perusahaan mengatakan pada hari Rabu (17/8), pendapatan turun 3% menjadi 134 miliar yuan (sekitar Rp290,8 triliun) menandakan penurunan pada dua kuartal berturut-turut. Sejalan dengan ekspektasi para analis.

Laba bersih yang diatribusikan kepada pemegang ekuitas turun 56% menjadi 18,6 miliar yuan (sekitar Rp 40,4 triliun), di bawah perkiraan analis dengan angka 25,3 miliar yuan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...