Panja DPR Belum Setuju, Gross Split Terancam Tak Masuk RUU Migas
Skema kontrak bagi hasil gross split terancam tidak masuk dalam Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Ini karena dalam rapat Senin malam (23/10) lalu, Panitia Kerja Migas (Panja Migas) belum setuju mengenai penerapan skema kontrak baru tanpa pengembalian biaya operasi (cost recovery) tersebut.
Salah satu anggota Panja Migas Ramson Siagian menilai skema kontrak gross split terlalu banyak diskresi menteri dalam menentukan bagi hasil. "Karena terlalu banyak variabel-variabel. Jadi diskresi menteri terlalu besar, terlalu banyak," kata dia kepada Katadata, Selasa (24/10).
Besarnya diskresi menteri pada gross split ini akhirnya menciptakan ketidakpastian bagi investor. Ujungnya hal itu bisa membuat iklim investasi hulu migas di Indonesia tidak menarik.
Hal itu bisa terlihat dari belum lakunya blok migas yang dilelang tahun ini. "Dari 15 blok tender itu tidak ada yang mau kan," kata Ramson, yang juga merupakan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun, Ramson mengatakan keputusan panja migas yang belum menyetujui Gross Split tersebut bukanlah hasil final. Panja Migas masih perlu membahasnya dengan pemerintah. Kemudian akan diputuskan bersama Komisi VII DPR.
Hasil keputusan itu nantinya akan menjadi referensi DPR dalam memutuskan masuk tidaknya Gross Split ke dalam RUU Migas. “Jadi belum tentu. Bisa iya, bisa juga tidak," kata Ramson.
Seperti diketahui, Senin malam (23/10), Panja Migas mengadakan rapat dengan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, Direktur Jenderal Migas Ego Syahrial, dan 10 kontraktor kontrak kerja sama yang memiliki produksi terbesar. Adapun rapat ini berlangsung tertutup.
(Baca: Tak Masuk RUU Migas, Sistem Gross Split Masih Dapat Diterapkan)
Berdasarkan salinan kesimpulan rapat yang diperoleh Katadata, ada beberapa poin:
1. Panitia Kerja Minyak dan Gas Bumi Komisi VII DPR RI berpandangan masih terdapat banyak masalah terkait penerapan sistem kontrak bagi hasil gross split. Untuk itu Panja Migas belum dapat menyetujui dan masih perlu mendalaminya. Adapun hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam kontrak kerja sama bagi hasil sebagai berikut:
a. Sistem kontrak kerja sama harus menjamin kepastian fiskal, kepastian sistem perpajakan, dan kepastian hukum
b. Sistem kontrak kerja sama bagi hasil perlu mempertimbangkan untuk memberi insentif bagi wilayah kerja khusus yang sulit, berisiko tinggi, dan dalam tahap eksplorasi serta memberikan manfaat yang lebih besar pada negara
c. Kebijakan sistem kontrak kerja sama perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
d. Perlu adanya penyederhanaan proses perizinan terutama pada tahap eksplorasi.
2. Panitia Kerja Migas Komisi VII DPR RI bersepakat dengan SKK Migas dan KKKS untuk menyampaikan hasil tindak lanjut audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2015 dan 2016 terkait dengan cost recovery dan lain-lain.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan rapat Panja belum final. "Menurut saya, berdasarkan informasi dari Dirjen Migas, bahwa Panja Migas DPR menampung masukan dari Ditjen Migas, SKK dan beberapa Kontraktor terkait Gross Split," ujar dia kepada Katadata, Selasa (24/10).