Era Perang Tarif Pajak Dimulai, Ekonom Prediksi Pergeseran Dana Asing
Pemerintah Amerika Serikat (AS) mulai menerapkan tarif pajak perusahaan yang lebih rendah di 2018 ini. Kebijakan tersebut berpotensi mendorong arus investasi masuk ke Negeri Paman Sam. Perusahaan-perusahaan asal AS juga diprediksi akan membawa pulang dananya yang tersimpan di luar negeri (repatriasi). Sejumlah negara kemungkinan bakal melakukan pemangkasan pajak sebagai tindakan balasan.
Kepala riset teknologi di GBH Insights Daniel Ives memprediksi perusahaan-perusahaan besar AS di bidang teknologi bakal membawa pulang US$ 300-400 miliar dolar tahun ini, dengan US$ 200 miliar di antaranya dipulangkan oleh Apple. Hal itu dengan asumsi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memarkir dana sekitar US$ 550-600 miliar di luar negeri.
Daniel meyakini sebagian besar dana repatriasi bakal digunakan untuk mencari keuntungan di pasar modal. “Kami meyakini percepatan pembelian kembali (buyback) saham, kenaikan dividen, serta merger dan akuisisi yang lebih besar bisa diharapkan para pemegang saham terjadi pada tahun 2018,” kata dia seperti dikutip CNBC, awal tahun ini. (Baca juga: Tangkal Dampak Pemotongan Pajak di AS, Sri Mulyani Tinjau Tarif Pajak)
Meski ada potensi pemulangan dana oleh perusahaan-perusahaan AS, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual meyakini perusahaan-perusahaan AS masih akan bertahan di dalam negeri. Ia menduga pemulangan kemungkinan bakal dilakukan oleh perusahaan-perusahaan AS yang selama ini sengaja menempatkan dananya di negara-negara suaka pajak (tax haven) untuk menghindari pajak AS yang cukup tinggi.
Adapun perusahaan AS yang masuk ke Indonesia diyakininya bakal bertahan lantaran kebanyakan bergerak di bidang manufaktur, perkebunan, dan pertambangan. Alasan mereka masuk pun bukan untuk membidik pajak yang rendah, melainkan karena pasar dan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia.
Namun, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan perlu diwaspadai risiko perpindahan dana asing dari pasar modal domestik ke pasar modal AS. Hal ini lantaran adanya ekspektasi perusahaan-perusahaan AS bakal memiliki kinerja bisnis dan pendapatan yang lebih baik setelah adanya pemangkasan pajak.
“(Ekpektasi) itulah yang dibeli investor sehingga indeks Dowjones naik terus,” kata Lana. (Baca juga: BI: Transaksi Berjalan Defisit, Pemerintah Perlu Jaga Investasi Asing)
Selain itu, ia menilai perlu juga diwaspadai risiko pelemahan pertumbuhan investasi asing langsung (foreign direct investment) di Indonesia. Sebab, tarif pajak di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan sejumlah negara kemungkinan bakal menurunkan tarif pajaknya setelah AS melakukan pemangkasan pajak. Maka itu, ia mendorong respons segera dari pemerintah Indonesia.
“Saya melihat kemungkinan pembalasan. Tiongkok akan turunkan (tarif pajak), supaya (perusahaan-perusahaan AS) tidak keluar, Kanada dan Meksiko juga. Ini potensi perang pajak. Kalau indonesia tak melakukan hal serupa, bukan cuma investasi portofolio, tapi FDI (juga akan terdampak), wong pajaknya mahal,” ucapnya. (Baca juga: Insentif Pajak Tak Diminati Pengusaha, Sri Mulyani Selidiki Alasannya)
Adapun saat ini, pajak penghasilan (PPh) perusahaan di Indonesia lebih tinggi bukan hanya dibandingkan dengan AS, tapi negara-negara tetangga. Mulai 2018 ini, tarif PPh perusahaan di AS sebesar 21%. Di sisi lain, tarif di Indonesia masih sebesar 25%, lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang sebesar 24%, Vietnam dan Thailand yang sebesar 20%, dan Singapura 17%. "Vietnam dan Malaysia akan turunkan, ini saingan kita," ucapnya.
Menurut Lana, jika Indonesia tak memangkas pajaknya, FDI yang sudah masuk ke Indonesia kemungkinan akan tetap bertahan, namun, besarannya tidak akan bertambah lantaran pemilik dana lebih memilih untuk menempatkan dananya di negara lain. “Bukan ke AS, tapi ke negara ASEAN lainnya,” ucapnya.