MK Sebut Pasal Penghinaan Presiden Seharusnya Tak Diatur di RUU KUHP

Dimas Jarot Bayu
15 Februari 2018, 17:38
Gedung DPR
Arief Kamaludin | Katadata
Pembahasan RUU KUHP masih berlanjut di DPR.

Mahkamah Konstitusi (MK) menilai DPR dan pemerintah tidak seharusnya memasukkan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab, aturan mengenai soal penghinaan presiden pernah dibatalkan oleh MK.

Dalam pembahasan RUU KUHP, pemerintah dan DPR kembali memasukannya dalam Pasal 238 RUU KUHP tentang penghinaan presiden. Pasal tersebut sebenarnya sudah pernah dibatalkan MK melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

"Dalam melakukan pembaruan KUHP, pembentuk UU tidak boleh lagi memasukkan rumusan norma seperti yang dibatalkan oleh MK," kata juru bicara MK Fajar Laksono di Jakarta, Kamis (15/2).

(Baca juga: RUU KUHP Ancam Kriminalisasi Kritikan Masyarakat)

Dalam putusan MK, pembatalan dipertimbangkan karena martabat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberikan keistimewaan sehingga memperoleh kedudukan dan perlakuan berbeda di hadapan hukum.

Selain itu, pasal tersebut dibatalkan dengan pertimbangan menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu proses, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.

"Kalau dilihat pertimbangan putusan itu sebetulnya sudah jelas. Memasukkan kembali norma yang serupa dengan yang dibatalkan MK itu bertentangan dengan putusan MK," kata Fajar.

Menurut Fajar, DPR dan pemerintah seharusnya mengikuti tafsiran yang dilakukan MK terkait rumusan norma tersebut. Sebab, MK merupakan penafsir akhir konstitusi di Indonesia.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...