Lewati Tenggat, BPK Minta Freeport Selesaikan Isu Limbah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta PT Freeport Indonesia menyelesaikan hasil temuan audit lingkungan sebelum memperpanjang kontrak. Ini karena audit yang dilakukan BPK itu menemukan adanya potensi kerugian negara triliunan rupiah akibat pelanggaran lingkungan yang dilakukan Freeport.
Anggota IV BPK Rizal Djalil mengatakan Freeport harus tunduk terhadap aturan yang ada di Indonesia. “Selesaikan masalah dulu, baru bicara kontrak. Masa 12 perusahaan pemegang kontrak karya yang lain mengikuti aturan, tapi ini enggak. Padahal sama-sama asing,” kata dia di Jakarta, Selasa (3/4).
Menurut Rizal ada dua topik besar yang harus diselesaikan PT Freeport Indonesia mengenai audit lingkungan tersebut. Pertama adalah penggunaan hutan lindung. Kedua, yakni isu limbah.
Hingga kini, BPK masih menunggu rencana aksi (action plan) dari Freeport sebagai tindak lanjut dari temuan tersebut. Batas waktu yang diberikan kepada perusahaan asal Amerika Serikat itu juga seharusnya sudah lewat.
Mengacu Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, Freeport seharusnya menindaklanjuti temuan itu 60 hari sejak terbit. Namun, ini sudah 333 hari belum ada tindak lanjut.
Dengan demikian, Rizal meminta agar hasil temuan BPK ini menjadi pertimbangan pemerintah dalam bernegosiasi dengan Freeport. "Itu kewajiban yang harus ditunaikan Freeport," kata dia.
Saat ini pemerintah dan Freeport memang tengah bernegosiasi mengenai kelanjutan masa operasi setelah kontrak berakhir 2021. Salah satu poin yang dinegosiasikan adalah divestasi saham yang akan diambil PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (INALUM) sebagai holding tambang.
Sementara itu tahun lalu BPK menemukan adanya potensi kerugian negara akibat operasional Freeport di Papua sebesar Rp 185,58 triliun. Penyebabnya adalah sejumlah pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu.
Pelanggaran pertama, penggunaan tanpa izin kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional pertambangan Freeport seluas minimal 4.535,93 hektare. Akibatnya, negara berpotensi merugi sekitar Rp 270 miliar.
Kedua, terdapat kelebihan pencairan jaminan reklamasi Freeport sebesar US$ 1,43 juta atau Rp 19,4 miliar sesuai kurs tengah Bank Indonesia per 25 Mei 2016. Berdasarkan penghitungan ulang BPK, dana tersebut seharusnya masih ditempatkan pada Pemerintah Indonesia.
Ketiga, Freeport belum menyerahkan kewajiban penempatan dana pasca tambang kepada Pemerintah Indonesia untuk periode 2016 senilai US$ 22,286 juta atau sekitar Rp 293 miliar. Keempat, terdapat dampak pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary, dan ada yang telah mencapai kawasan laut sebesar Rp 185 triliun.
(Baca: BPK: Potensi Kerugian Negara Akibat Tambang Freeport Rp 185 Triliun)
Kelima, BPK menemukan kegiatan operasional pertambangan Deep Mill Level Zone (DMLZ) serta memperpanjang tanggul barat dan timur dilakukan tanpa izin lingkungan. DMLZ merupakan salah satu tambang bawah tanah milik Freeport.
Keenam, BPK menemukan pengawasan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) atas pengelolaan lingkungan Freeport belum dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. BPK menilai kedua kementerian tersebut belum optimal mengawasi dan memantau atas amblesan permukaan akibat tambang bawah tanah Freeport.