IDI Desak BPJS Kesehatan Batalkan Tiga Aturan Terbaru
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan membatalkan tiga peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes). Ketiga aturan tersebut dinilai bakal merugikan masyarakat karena menurunkan mutu pelayanan yang berkualitas.
"IDI meminta BPJS Kesehatan membatalkan Perdirjampelkes Nomor 2,3,5 tahun 2017 untuk direvisi sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis," kata Ketua Umum PB IDI Ilham Oetamamarsis di kantornya, Jakarta, Kamis (2/8).
(Baca juga: BPJS Kesehatan Bantah Cabut Layanan Katarak hingga Persalinan Bayi)
Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018 tersebut dikhawatirkan membuat pelayanan kesehatan tak optimal, khususnya untuk penyakit katarak, persalinan bayi lahir sehat, serta rehabilitasi medik.
Padahal semua penyakit seharusnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 22 dan 25.
Ilham menjelaskan, kebutaan katarak di Indonesia menjadi salah satu penyakit yang tertinggi di dunia. Ilham menilai adanya kuota pelayanan katarak dalam Perdirjampelkes Nomor 2 Tahun 2018 dapat meningkatkan angka kebutaan tersebut.
(Lihat pula: Lampaui Prediksi, Defisit BPJS Kesehatan 2017 Capai Rp 9,75 Triliun).
Kemudian, Perdirjampelkes Nomor 3 Tahun 2018 dianggap dapat membuat pelayanan persalinan tidak optimal. Padahal, dia menilai semua persalinan harus mendapatkan penanganan yang optimal.
"Karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat, bahkan kematian," kata Ilham.
Ilham menambahkan, Perdirjampelkes Nomor 5 Tahun 2018 tak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik. Sebab dalam aturan tersebut, BPJS Kesehatan hanya menjamin pelayanan rehabilitasi medik dua kali sepekan.
Ilham menilai hal tersebut dapat berakibat pada hasil terapi yang tak optimal. "Kondisi disabilitas menjadi sulit teratasi," lanjut dia.
Tak hanya bagi pasien, Ilham menilai ketiga aturan tersebut juga akan merugikan dokter. Sebab, dokter berpotensi melanggar sumpah dan kode etik. Ini lantaran praktik kedokteran menjadi tak sesuai standar profesi.
(Baca juga: Sederet Strategi Pemerintah Perkecil dan Tambal Defisit BPJS Kesehatan).
Kewenangan dokter dalam mengambil tindakan medis juga rawan diintervensi dan direduksi oleh BPJS Kesehatan. Terbitnya tiga beleid itu pun dinilai akan meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien dan fasilitas kesehatan.
"Meningkatkan potensi gugatan dan tuntutan terhadap dokter," kata Ilham.
Selain bakal merugikan masyarakat, Ilham menilai ketiga aturan tersebut berpotensi melanggar UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 24 dan Permenkes Nomor 76 Tahun 2016. Ketiga aturan itu juga tak mengacu pada Perpres 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan.
Ilham menyadari jika ketiga aturan tersebut dilakukan untuk efisiensi BPJS Kesehatan. Hanya saja, dia menilai hal itu seyogyanya tak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan pelayanan kesehatan.
IDI pun mendorong Kementerian Kesehatan memperbaiki regulasi tentang penjaminan dan pengaturan skema pembiayaan. "IDI mendorong terbitnya Perpres tentang iuran atau urun bayar sesuai UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang SJSN," kata dia.
BPJS Kesehatan sebelumnya memastikan bahwa pelayanan kesehatan untuk katarak, rehabilitasi medik, dan bayi baru lahir sehat tetap dijamin walau ketiga Perdirjampelkes terbit. Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohammad Arief mengatakan, tiga aturan tersebut hanya untuk memperjelas tata cara agar manfaat pelayanan lebih efektif dan efisien.
Ketiadaan tiga aturan tersebut justru akan membuat BPJS membiarkan terjadinya inefisiensi. Selain itu, regulasi tersebut diterbitkan dengan memperhatikan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini. Budi memperkirakan ketiga aturan ini menghemat sekitar Rp 360 miliar.