Ekonom Proyeksikan Inflasi Tahun Depan 3,7% - 3,9%, Ini Asumsinya
Institute for Development of Economics & Finance (Indef) memproyeksikan, laju inflasi pada tahun depan sekitar 3,7% - 3,9%. Artinya, angka ini tetap sesuai dengan rentang target yang dipatok dalam RAPBN di antara 2,5% - 4,5%.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan, untuk inflasi barang impor (imported inflation) diprediksi meningkat mengingat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) belum usai. Pasalnya, terdapat kenaikan harga bahan pangan yang bermuatan impor.
"Daging ayam, telur, dan beras, kemungkinan bisa naik," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (27/8).
Oleh karena itu, upaya dalam menjaga inflasi belum cukup dengan mengamankan pasokan bahan pangan saja. Perlu dikendalikan suplai impor sembari meningkatkan peran Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) untuk meningkatkan suplai pangan antardaerah.
Sejalan dengan itu, imbuh Bhima, satuan tugas (satgas) pangan harus dapat menunjukkan kinerja nyata dalam upaya efisiensi rantai distribusi. "Pemotongan rantai distribusi pangan, terutama beras, itu sulit," ujarnya.
Pasokan pangan antardaerah jelas membutuhkan dukungan infrastruktur transportasi yang memadai. Kehadiran tol laut diiringi peningkatan armada perkapalan diharapkan bisa mempercepat upaya pemangkasan rantai suplai komoditas pangan.
Selain perkara pangan, harga minyak dunia yang diasumsikan meningkat memperberat tantangan dalam menjaga laju inflasi. Apabila dilakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi maka inflasi administered price (harga yang diatur pemerintah) berpotensi melambung.
Belum lagi imbas tren penaikan suku bunga acuan bank sentral AS yang akan mempengaruhi harga jual produk industri. Hal ini memicu peningkatan inflasi inti. Penawarnya adalah konsumsi rumah tangga yang diyakini tetap baik sehingga inflasi inti dapat terjaga pada 5%.
(Baca juga: 3 Faktor Mengapa Gubernur BI “Pede” Inflasi Aman Meski Rupiah Melemah)
Gubernur BI Perry Warjiyo sempat mengutarakan, bank sentral yakin dapat mengendalikan inflasi inti di level 2,5% - 4,5% sampai dengan tahun depan. Imported inflation juga diklaim terjaga.
Argumen BI ialah depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar 7% secara year to date tak seburuk kondisi pada 2013 dan 2015. Dibandingkan dengan pelemahan nilai tukar mata uang negara lain, posisi rupiah pun dinilai lebih baik pasalnya di India merosot hingga 9%, Afrika Selatan 13,7%, dan Brasil 18,2%.
Faktor lain ialah kesenjangan output yang negatif. “Meskipun ekonomi kita naik, kita masih berada di bawah kapasitas produksi nasional. Sehingga, kami tidak melihat tekanan permintaan terhadap inflasi tadi,” kata Perry.
Menurutnya, aspek lain yang membuat inflasi barang impor tetap aman adalah ekspektasi inflasi yang terjaga baik. Di dalam sejumlah survei didapati bahwa ekspektasi masih di dalam kisaran target, yakni 3,5% pada tahun ini maupun tahun depan.