KPK Duga Suap Pejabat Lippo ke Bupati Bekasi untuk Dapat IMB Meikarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga suap yang diberikan kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan empat anak buahnya untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) proyek Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Suap tersebut diduga diberikan oleh Direkktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan kemungkinan suap tersebut untuk mempengaruhi izin yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. “Ada sejumlah proses rekomendasi dan perizinan menuju IMB yang kami duga ingin dipengaruhi dalam suap ini,” kata Febri di kantornya, Jakarta, Kamis (18/10). Atau, bisa juga untuk mempercepat proses perizinannya.
(Baca juga: Tina Toon hingga Susi, Intrik Menyamarkan Suap Meikarta)
Hanya saja, Febri belum bisa menilai apakah perizinannya sendiri yang dilakukan Meikarta bermasalah atau tidak. Hal tersebut masih didalami dalam proses penyidikan. Yang pasti, untuk mengurus perizinan tersebut disangkakan dengan menggelontorkan sejumlah uang kepada penyelenggara negara.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan sembilan tersangka, yakni Neneng, Billy, dua orang konsultan Lippo Group bernama Taryudi dan Fitra Djaja Purnama, serta satu pegawai Lippo Group bernama Henry Jasmen. Lalu Kepala Dinas PUPR Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas DPMPTSP Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Neneng Rahmi.
Billy, Taryudi, Fitra, serta Henry diduga menyuap Neneng dan empat anak buahnya senilai Rp 7 miliar dari total komitmen fee Rp 13 miliar. Suap diduga diberikan untuk memuluskan berbagai perizinan pada fase pertama proyek Meikarta.
Setidaknya terdapat tiga fase terkait izin yang sedang diurus untuk proyek seluas 774 hektare tersebut. Fase pertama proyek Meikarta diperkirakan untuk luasan 84,6 hektare. Fase kedua seluas 252 hektare. Sementara fase terakhir terhampar 101,5 hektare.
(Baca juga: Terjerat Kasus Suap, Pengembang Janji Proyek Meikarta Tak Berhenti)
Billy, Taryudi, Fitra, serta Henry diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Neneng bersama empat pejabat di bawahnya yang diduga sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PIdana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.