Sinyalemen Tak Tercapainya Pertumbuhan Target Ekspor

Michael Reily
23 Oktober 2018, 17:27
Pelabuhan Ekspor
Agung Samosir|KATADATA

Kinerja ekspor nonmigas terus menurun. Target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 11persen pun terancam tak tercapai di tengah situasi global yang tak menentu karena perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok. Pemerintah pun berusaha menggenjot ekspor untuk menjaga neraca perdagangan tidak defisit.

Sejauh ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) memang memperlihatkan ekspor nonmigas terus menurun. Pada Juli kemarin, ekspor nonmigas mencapai US$ 14,86 miliar, kemudian turun 2,90 persen menjadi US$ 14,44 miliar pada Agustus. Lalu, semakin merosot 6,58 persen menjadi US$ 13,62 miliar pada September.

(Baca: Ekspor Lesu, Kemendag Minta Eksportir Tingkatkan Produk Nilai Tambah)

Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengungkapkan belum ada indikasi percepatan pertumbuhan ekspor yang signifikan mengacu siklus dan kebijakan pemerintah. “Fokus pemerintah lebih banyak pengetatan impor,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Selasa (23/10).

Kebijakan pengetatan impor malah bisa menjadi pedang bermata dua. Alasannya, industri dalam negeri kebanyakan masih bergantung terhadap bahan baku dari luar negeri. Selain bisa memperlambat pertumbuhan nasional, industri berorientasi ekspor dapat terhambat.

Faisal menyebutkan indeks daya beli manufaktur melemah karena nilai tukar rupiah yang semakin loyo. Belum lagi naiknya harga minyak dunia yang konsisten tinggi. “Kalau industri orientasi ekspor sampai terdampak, produksi bisa tertekan karena ada penyesuaian dengan modal,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 tentang impor dan kewajiban untuk devisa hasil ekspor merupakan disinsentif kepada pelaku usaha. Meski bertujuan untuk stabilisasi rupiah, pemerintah harus menyiapkan insentif substitusi untuk kemudahan perizinan ekspor.

Mengacu data BPS pada perbandingan periode 2017, pertumbuhan ekspor nonmigas pada Januari hingga September 2018 mencapai 9,29 persen dengan nilai total US$ 122,31 miliar. Capaian tersebut menurun karena pertumbuhan ekspor nonmigas Januari sampai Agustus 2018 sebesar 10,02 persen dengan nilai US$ 108,69 miliar. 

Bahkan, ekspor nonmigas medio Januari ke Juli 2018 telah mencapai 11,05 persen dengan nilai US$ 94,21 miliar. Sepanjang Januari - September 2018, ekspor nonmigas berkontribusi 90,61 persen dari total ekspor Indonesia. “Ekspor nonmigas banyak berbicara tentang industri manufaktur,” ujar Faisal.

Saat ini, komoditas unggulan nasional seperti minyak kelapa sawit dan batu bara terkendala penjualan karena harganya tak terlalu tinggi. Sehingga, pemerintah harus mendorong ekspor komoditas unggulan lain seperti tekstil dan produk tekstil dalam tiga bulan terakhir 2018.

Menurutnya, pembukaan akses pasar dalam penyelesaian perundingan perjanjian dagang harus terus digalakkan pemerintah. Namun, efek perjanjian dagang masih harus menunggu waktu lama sehingga bukan solusi percepatan untuk mendongkrak ekspor.

Faisal menekankan kendala yang harus diwaspadai adalah pelemahan permintaan global karena situasi perdagangan internasional yang tak menentu. “Perang dagang Amerika dan Tiongkok sudah menyebabkan negara berkembang jadi korban,” ujarnya.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslain pun menyebutkan tantangan perdagangan global memang masih besar. Petinggi organisasi pengusaha itu berharap pelaku usaha bisa memanfaatkan perang dagang Amerika-Tiongkok dan nilai tukar yang masih lemah.

Perundingan perjanjian perdagangan bisa menjadi salah satu solusi yang dikerjakan pemerintah. “Penyelesaian perjanjian bisa mendorong ekspor kita, terutama tekstil yang bisa lebih tinggi,” kata Rosan. (Baca: Perubahan Musim Sebabkan Penurunan Ekspor Tekstil di September)

Saat paparan kinerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun optimistis ekspor bisa mencapai target 11 persen. Sebab, dia mengeluarkan catatan pertumbuh ekspor tahun 2017 mencapai 16 persen jika dibandingkan tahun 2016, dari US$ 145,1 miliar menjadi US$ 168,7 miliar.

Menurutnya, pemerintah akan terus mengejar penyelesaian 10 perjanjian dagang yang tengah dirundingkan. Berdasarkan laporan Kementerian Perdagangan, perundingan dilakukan dengan Australia, Uni-Eropa, Kawasan Perdagangan Bebas Eropa (EFTA), Iran, Turki, Mozambique, Tunisia, dan Kemitraan Ekonomi Regional Komprehensif (ASEAN + Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India).

Kemudian, pemerintah bakal melakukan inisiasi perundingan dengan Bangladesh dan Maroko. Selain itu, pengkajian perjanjian dagang terus dilakukan dengan Jepang, Pakistan, ASEAN dengan Australia-Selandia Baru (AANZFTA), Iran (AIFTA), dan Komunitas Asia Tenggara (AEC).

(Baca: Finalisasi Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional Dibayangi Hambatan)

Enggar menekankan bahwa perjanjian dagang adalah proses untuk mempertahankan pangsa pasar komoditas Indonesia di negara tujuan ekspor. “Kalau tidak, pangsa pasar kita bisa terambil oleh Vietnam atau negara lainnya,” ujarnya.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, juga mengungkapkan hal senada. Dia optimistis target 11 persen akan terpenuhi karena Kementerian Perdagangan telah memberikan kemudahan untuk ekspor dengan kebijakan Pusat Logistik Berikat alias bonded zone.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...