Kegeraman Jokowi dan Polemik Dana Kelurahan
Presiden Joko Widodo sempat meluapkan kekesalannya tatkala wacana penggelontoran dana kelurahan kian menjadi polemik. Saat menghadiri pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (23/10), Jokowi menyebutkan ada politikus sontoloyo karena gemar menggoreng isu tersebut.
Dia mengingatkan masyarakat untuk bijak menyikapi mereka. Dana kelurahan yang direncanakan hingga Rp 3 triliun tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendanaan di pemerintahan bawah, layaknya dana desa. Namun beberapa politisi, terutama dari oposisi, mensinyalir ada bau tak enak di dalamnya.
(Baca juga: Arti Politikus Sontoloyo di Mata Presiden Jokowi).
Mereka yang mengkritik seperti Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Hidayat Nur Wahid dan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. Keduanya mempersoalkan wacana dana kelurahan yang akan digelontorkan ketika Pemilu 2019 berlangsung. Hal tersebut juga ditanyakan oleh calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno.
Menurut Sandiaga, wacana kebijakan itu patut diapresiasi jika memiliki niatan membantu masyarakat. Hanya saja, dia mempertanyakan mengapa hal itu baru dilakukan pada tahun depan. “Masyarakat bisa menilai sendiri, apakah ini ada udang di balik batu, atau apakah ini sebuah program yang memang dicanangkan sebelumnya,” kata Sandiaga di Jakarta, Minggu (21/10).
Sementara itu, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Gerindra Nizar Zahro mempertanyakan payung hukum dana kelurahan yang diusulkan masuk postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Rencananya, dana ini diambil dari pos dana desa yang mencapai Rp 73 triliun.
Menurut Nizar, payung hukum untuk dana kelurahan belum jelas. Sebab, hal tersebut tak bisa disamakan dengan payung hukum untuk dana desa sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. (Baca: Ada Kecemburuan, Alasan Sri Mulyani Ajukan Dana Kelurahan Rp 3 Triliun)
Asal Polemik Dana Kelurahan
Dana kelurahan awalnya merupakan aspirasi dari para wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) pada pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat, Juli 2018 lalu. Wakil Ketua Apeksi, Bima Arya Sugiarto mengatakan usulan tersebut disampaikan lantaran mayoritas penduduk tinggal di perkotaan.
Dana kelurahan, lanjut Bima, dibutuhkan untuk mengelola tren urbanisasi dengan baik. “Jangan sampai problem perkotaan seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan ekonomi kemudian meledak mengancam kebersamaan dan stabilitas nasional,” kata Aria seperti dikutip Antara, Senin (22/10).
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah pun menilai dana kelurahan memang dibutuhkan. Sebab, persoalan di kelurahan jauh lebih kompleks dibandingkan di desa. (Baca: Jokowi Sebut Dana Kelurahan Akan Diberikan Apabila APBN Mampu).
Trubus mencontohkan, beberapa persoalan di kelurahan terkait kriminalitas, kampung kumuh, dan pengangguran. “Memang ada tuntutan, ada kebutuhan dari kelurahan-kelurahan karena selama ini yang ada hanya dana desa,” kata Trubus ketika dihubungi Katadata.co.id, Rabu (24/10).
Karenanya, dia menilai dana kelurahan dapat digelontorkan oleh pemerintah. Untuk itu perlu peraturan pemerintah (PP) yang mengakomodasi alokasi dana kelurahan bersumber dari APBN. Sebab, selama ini tidak ada regulasi yang mengaturnya. Mengacu pada PP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan, alokasi dana kelurahan hanya berasal dari APBD minimal 5 persen setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).
Berbeda pendapat dengan Nizar, Trubus menilai pemerintah bisa merevisi PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa untuk mengakomodasi penggelontoran dana kelurahan. Sebab, dia menilai kelurahan memiliki substansi yang sama dengan desa sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun 2014.
Hal senada disampaikan Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio. Menurutnya, pemerintah bisa membuat PP atau Permen untuk mengakomodir penggelontoran dana kelurahan. Agar distribusi dana kelurahan tak menjadi masalah, pemerintah pun didorong membuat skema serupa dana desa.
Agus menyarankan tiap kelurahan membuat proposal sebelum mendapatkan dana kelurahan.
Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui apakah penggelontoran dana kelurahan dapat tepat sasaran sesuai kebutuhan masyarakat. “Ketika tidak masuk (tepat sasaran), ya jangan diberikan,” kata Agus.
Ujung Politik Dana Kelurahan
Bergulirnya dana kelurahan ke ranah politik, menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, lumrah terjadi ketika menjelang Pemilu. Kebijakan inkumben memang memiliki pola yang lebih populis di tahun politik.
Meski demikian, Yunarto menilai hal tersebut sah mengingat tidak ada pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Jokowi. “Yang ilegal itu money politic, yang ilegal itu penggunaan birokrasi, misalnya,” kata Yunarto. (Baca: Mengadu Kebijakan Populis dari Program Ekonomi Jokowi dan Prabowo)
Atas kritik kubu oposisi, Yunarto menilai hal tersebut tak perlu dipermasalahkan. Justru, ramainya polemik ini baik untuk menumbuhkan pendidikan politik di masyarakat. Polemik ini akan memunculkan adu wacana secara lebih sehat ketimbang isu-isu hoaks yang kerap bertebaran jelang Pilpres 2019. “Biarkan saja, masyarakat yang akan menilai,” kata Yunarto.