Asosiasi Pemilik Kapal Minta Penundaan Kewajiban B20
Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia (INSA) meminta penundaan penggunaan biodiesel dengan campuran minyak kelapa sawit 20% (B20) untuk angkutan laut. Usulan didasarkan pada sejumlah aspek pertimbangan seperti aspek keselamatan, performa, dan biaya perawatan.
Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto mengatakan telah menyampaikan usulan kepada pemerintah melalui surat bernomor 153/INSA/X/2018. Surat itu ditujukan kepada sejumlah menteri seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
"Kami perlu relaksasi penggunaan B29 untuk angkutan laut karena ada beberapa aspek pertimbangan," kata Carmelita kepada Katadata.co.id, Senin (29/10).
Menurutnya, asosiasi mendukung kebijakan mandatori penggunaan B20 milik pemerintah. Namun, INSA meminta ada kajian teknis terlebih dahulu untuk bisa menjelaskan dampak penggunaan B20 terhadap mesin kapal.
(Baca: Freeport dan PLN Diberi Kelonggaran Sementara untuk Tak Gunakan B20)
"Kami sudah sampaikan, kajian penggunaan B20 belum pada angkutan kapal," ujarnya.
INSA pun menekankan kandungan kualitas B20 belum konsisten karena belum dipantenkan dengan standar nasional dikhawatirkan bisa berdampak terhadap kerusakan bagian kapal sehingga berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian antara pemberi garansi pabrik dan pihak asuransi kapal.
Bila pemakaian B20 dipaksakan kepada industri pelayaran, hal ini juga bisa berimbas pada investasi awal yang cukup besar untuk pembersihan tangki, pipa dan sistem BBM, pemeliharaan sistem penyimanan B20.
Karenanya, terhadap masalah teknis tersebut, INSA pun memberikan sejumlah masukan kepada Kementerian ESDM dalam surat yang sudah diterima oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pertama, pemakaian B20 hanya memungkinkan untuk kapal baru yang mesinnya sudah diperisiapkan untuk memakai B20.
Kedua, produsen B20 mengadakan riset agar dapat menghasilkan produk yang kompatibel tanpa menimbulkan efek ongkos perawatan tinggi. Ketiga, produsen B20 juga harus melakukan analissi efek terhadap saluran yang menggunakan tembaga atau nikel tembaga.
Keempat, uji emisi B20 untuk perbandingan dengan persyaratan polusi udara. Kelima, pemerintah agar bisa mensyarakatkan pihak asuransi dan manufaktur mesin untuk membiayai kerusakan yang disebabkan B20.
Terakhir, produsen B20 wajib memasukkan analisis untuk standar penggunaan kapal angkut air. "INSA sangat berharap pemerintah menunda pemakaian B20 khususnya industri pelayaran sampai dengan adanya hasil analisis," kata Carmelita.
Sebelumnya, sejumlah sektor tercatat memperoleh kelonggaran terkait penggunaan B20%. Pemerintah memperbolehkan PT Freeport Indonesia dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk tidak menggunakan biodiesel 20% (B20) dalam campuran pada bahan bakar minyak solar. (Baca : Pelonggaran Kebijakan Biodiesel B20 Selama Masa Uji 6 Bulan)
“Untuk sementara belum bisa (menggunakan B20),” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto di Jakarta, Senin (3/9).
Menurutnya, Freeport tidak bisa menggunakan B20 pada dataran tinggi Grasberg, Papua karena bisa menyebabkan bahan bakar tersebut membeku. Sedangkan PLN diperbolehkan tak menggunakan B20 pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas.
Selain itu, pemerintah juga memberi kelonggaran pada sektor alat utama sistem senjata (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk tak menggunakan B20.
Sesuai dengan hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tanggal 24 Agustus 2018, penyaluran solar murni kepada ketiga sektor dilaksanakan Pertamina. Ketiganya pun diperbolehkan untuk tidak menggunakan B20 sampai ada teknologi yang memungkinkan penggunaan jenis bahan bakar tersebut.