Pembatalan Kenaikan Cukai Rokok Melegakan Pelaku Industri
Pembatalan kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok oleh pemerintah direspons positif sejumlah pelaku industri. Hal tersebut dinilai melegakan dan sesuai seperti yang diharapkan industri dan pelaku usaha.
Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran menyatakan para pengusaha rokok mengapresiasi kebijakan pemerintah tersebut. Pemerintah memutuskan tidak menaikkan cukai hasil tembakau pada 2019 sehingga penghitungan akan tetap menggunakan tingkat cukai yang ada hingga 2018.
"Kami menghargai keputusan pemerintah, dan intinya hal ini sesuai dengan permohonan yang kami inginkan dan ini sejalan dengan keinginan industri," kata Ismanu kepada Katadata.co.id, Senin (5/11).
(Baca: Cukai Rokok Batal Naik, YLKI: Pemerintah Abaikan Perlindungan Konsumen)
Menurutnya, Gappri sebelumnya telah menulis surat kepada Menteri Keuangan tertanggal 23 April 2018 perihal Usulan Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 2019. Gappri juga telah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo melalui surat bernomor D.1018/GAPPRI/X/2018, tertanggal 22 Oktober 2018, perihal Kebijakan Cukai Hasil Tembakau ke Depan Membuat Gelisah Industri Kretek.
Dalam surat itu, selain meminta tidak diberlakukannya kenaikan cukai rokok, dua permintaan lain yang disampaikan ke Jokowi adalah agar tidak adanya simplifikasi perhitungan cukai rokok yang menggabungkan golongan rokok sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM).
Selain itu, Gappri juga meminta pemerintah membatasi dan memberantas rokok illegal dan status quo kebijakan. Dengan berbagai dukungan yang telah diberikan kepada industri kretek nasional, pihaknya menyebut industri ini mampu mandiri secara ekonomi, mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri serta mampu melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk petani tembakau, cengkeh dan pekerja.
“Gappri berharap regulasi untuk kretek untuk industri dalam negeri, tidak mengadopsi asing justru mengutamakan kepentingan nasional," ujarnya.
Senada dengan Gappri, Direktur Urusan Fiskal dan Eksternal PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) Elvira Lianita pun menuturkan keputusan pemerintah untuk tidak menaikan cukai rokok dan harga jual eceran (HJE) pada 2019 mencerminkan upaya pemerintah yang yang telah mempertimbangkan seluruh aspek terkait industri hasil tembakau nasional. "Khususnya pertimbangan jutaan masyarakat Indonesia yang mata pencahariannya bergantung pada industri ini," ujar Lianita kepada Katadata.co.id.
Meski begitu, dia enggan berkomentar lebih lanjut terkait kebijakan ini maupun rencana perusahaan kebijakan tersebut dibatalkan."Kami masih menunggu peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengatur aturan cukai pada 2019," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyebut batalnya penerapan cukai rokok satu sisi memberi dampak positif, seperti menguatnya pasar saham yang turut berdampak terhadap penguatan rupiah.
"Kemarin kan dengan itu (pembatalan kenaikan cukai) efek ke market presepsinya bagus, stok market naik dan kemudian rupiah menguat," katanya.
Dia juga menegaskan bahwa keputusan pembatan cukai rokok diambil berdasarkan keputusan bersama pemerintah dan menampik ada intervensi industri besar. Sebab sebelumnya, pembatalan kebijakan ini di satu sisi juga menuai tentangan masyarakat.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyayangkan keputusan pemerintah terkait pembatalan kenaikan tarif cukai rokok pada 2019 sebagaimana yang diputuskan dalam Rapat Kabinet, Jumat (2/11). Pemerintah dinilai abai terhadap perlindungan konsumen. Pembatalan regulasi ini juga dianggap sebagai bentuk antiregulasi karena Undang-Undang (UU) cukai mengamanatkan kenaikan cukai rokok hingga 57%.
"Pada konteks perlindungan konsumen dan kesehatan, ini hal yang ironis dan paradoks," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam keterangan resmi (5/11). (Baca juga: Cukai Rokok Batal Naik, Bea Cukai Putar Otak Kejar Target Penerimaan)
YLKI juga menduga pembatalan ini disebabkan oleh adanya intervensi kepentingan industri rokok, khususnya perusahaan besar terhadap pemerintah. Kebijakan pembatalan ini dinilai membuktikan bahwa pemerintah tidak mempunyai visi terhadap kesehatan publik.
Menurutnya, 35% dari total populasi Indonesia adalah perokok. Adapun menjadi salah satu penyebab utama berbagai penyakit katastropik. Dan jenis penyakit ini pula salah satunya yang memberatkan kinerja finansial BPJS Kesehatan.
Karenanya, pembatalan cukai rokok ini pemerintah dianggap mengabaikan perlindungan konsumen. Sebab cukai merupakan instrumen kuat untuk melindungi konsumen, agar tidak semakin terjerumus oleh bahaya rokok, baik bagi kesehatan tubuh maupun kesehatan finansial masyrakat.
Pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai tembakau pada tahun depan. Hal ini dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai rapat dengan Presiden.
Tidak ada penjelasan penjelasan spesifik atas ditahannya tarif cukai. Namun, Sri menjelaskan bahwa hal tersebut berdasar evaluasi dan masukan dari rapat. "Kami putuskan tidak ada perubahan tingkat cukai," kata Sri di Istana Bogor, Jumat (2/11).
Selain itu, pemerintah juga akan menunda penggabungan kelompok cukai. Intinya, dia menjelaskan bahwa struktur cukai hasil tembakau tahun depan tetap akan mengikuti ketentuan tahun ini secara keseluruhan. "Baik harga jual, eceran, maupun pengelompokkannya," kata dia.