Likuiditas Bank Mengetat Seiring Berakhirnya Masa Repatriasi Rp 138 T
Masa tahan (holding period) dana repatriasi program pengampunan pajak (tax amnesty) bakal berakhir pada 2019 mendatang. Setelah masa tahan berakhir, ada risiko dana tersebut ditransfer kembali ke luar negeri. Hal ini bisa menambah risiko pengetatan likuiditas di perbankan domestik.
“Pertengahan 2019, periode lock up dana repatriasi sudah habis. Jadi ada banyak tantangan terkait likuiditas,” kata Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana di Menara Bank Danamon, Jakarta, Kamis (6/12).
(Baca juga: LPS: Likuiditas Bank Ketat, LDR 94% Perlu Diwaspadai)
Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menurut Wisnu, pernah menyampaikan bahwa tengah menyiapkan instrumen penempatan alternatif agar bisa memertahankan dana repatriasi di dalam negeri.
Instrumen penempatan yang dimaksud akan disertai dengan insentif. Namun, ia menekankan bukan hanya insentif yang diperlukan, tapi juga imbal hasil yang menarik.
(Baca juga: Perang Bunga Deposito, Ada Bank Kecil Tawarkan Special Rate Lebih 10%)
Adapun pemerintah menyelenggarakan program tax amnesty pada pertengahan 2016 dan berlangsung selama sembilan bulan hingga Maret 2017. Dalam program tersebut, pemerintah menawarkan pengampunan pajak dengan membayar uang tebusan.
Pemerintah menawarkan tarif tebusan yang lebih rendah bagi wajib pajak yang mau melakukan repatriasi atau pemulangan hartanya dari luar negeri. Dengan catatan, dana tersebut wajib diinvestasikan di dalam negeri selama tiga tahun.
Wisnu menjelaskan, sebagian besar dana repatriasi mengalir pada akhir kuartal III hingga kuartal IV (September-Desember) 2016. Ini artinya, risiko berbaliknya dana tersebut ke luar negeri bakal terjadi pada paruh kedua 2019.
(Baca juga: Aset Repatriasi Berpotensi Keluar, Begini Sikap Pemerintah)
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total komitmen dana repatriasi mencapai Rp 147 triliun dari 3.000 peserta pengampunan pajak. Namun, merujuk kepada data dari bank penerima tercatat realisasinya di bawah nilai itu, sebesar Rp 138 triliun.