Dikritik Economist, Istana Bantah Kebijakan Populis Jelang Pilpres
Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika angkat bicara atas kritik media ekonomi asal Inggris, The Economist yang menyinggung kebijakan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terlalu populis jelang Pemilihan Presiden (Pilpres). Dia mengungkapkan kondisi ekonomi dunia tidak berada dalam kondisi bugar sepanjang 2018.
"Kondisi global memaksa sebagian besar negara menggunakan kebijakan yang cenderung ketat agar stabilitas ekonomi terjaga," kata Erani dalam keterangannya, dikutip Senin (28/1).
Menurut dia, penilaian The Economist terhadap perubahan fokus anggaran dari infrastruktur menjadi subsidi tidak sesuai fakta. Selain itu, dia membantah perspektif bahwa fokus anggaran terhadap belanja modal untuk infrastruktur semakin menurun.
(Baca: Pembangunan Infrastruktur Masif, Akankah Dongkrak Ekonomi?)
Dia mencatat, dalam periode 2005-2009, porsi belanja subsidi terhadap belanja negara mencapai 20,5% per tahun dan periode 2010-2014 rata-rata 21,6% per tahun. Sedangkan untuk pemerintahan pada 2015-2019, subsidi hanya mengambil porsi 9,5% per tahun terhadap belanja negara. Bahkan, tahun ini, porsi belanja subsidi hanya 9,1% dari belanja negara.
Untuk pertumbuhannya, dia membandingkan porsi belanja subsidi periode 2010-2014 dengan 2015-2019. Jika pada 2010-2014, belanja subsidi naik rata-rata 24,6% per tahun, sedangkan periode 2015-2019 turun rata-rata 6% per tahun.
Kondisi ekonomi global yang tak menentu juga membuat pemerintah menaikkan suku bunga sebanyak enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan mata uang yang mengkhawatirkan. Kenaikan suku bunga juga dilakukan hampir seluruh bank sentral di dunia dengan besaran yang berbeda.
Menurut data Bank Indonesia (BI), suku bunga acuan di Turki naik dari 8,25% pada Januari 2018 menjadi 24% pada Desember 2018. Korea Selatan juga naik dari 1,5% menjadi 1,75%; Hong Kong naik dari 1,75% menjadi 2,75%. India naik dari 6% menjadi 6,5%; Filipina naik dari 3% menjadi 4,75%; Argentina naik dari 26,28% menjadi 60,31%; dan Meksiko naik dari 7,25% menjadi 8,25%.
(Baca juga: Ekonomi Global Kemungkinan Lebih Lemah, Indonesia Diprediksi Stabil)
Selain lewat kebijakan moneter, pemerintah mengeluarkan beberapa langkah untuk menguragi tekanan pada neraca transaksi berjalan. "Seperti menaikkan PPh barang impor, serta penggunaan B20 untuk mengurangi impor BBM," ujar Erani.
Menjawab kritik terhadap minat investasi, Erani menuturkan sepanjang 2015-2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2% per tahun, sedangkan periode 2012-2014 rata-rata tumbuh hanya 3,5% per tahun.
Menurut Erani, realisasi penanaman modal dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Jika memerhatikan perkembangan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi dunia mulai melambat sejak 2011. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi global mencapai 5,4%; turun menjadi 4,1% pada 2011; kemudian 3,4% pada 2012.
Begitu pun dengan perekonomian global. Pada tahun 2013, ekonomi global pun hanya terakselerasi 3,3% dan mencapai titik terendah pada 2015 sebesar 3,1%. "Pola yang demikian mengikuti pergerakan penanaman modal dunia," kata Erani.
Sementara di Indonesia, pada 2012 total penanaman modal tumbuh hingga 24% dan mencapai puncak tertinggi pada 2013 dengan pertumbuhan sebesar 27%. Namun, realisasi tersebut turun signifikan dan hanya tumbuh 16% pada 2014. Pada 2017, tren pertumbuhan penanaman modal mencapai 13%. Namun menurutnya, tren tersebut lebih baik dari capaian pertumbuhan sebbesar 12% per 2016. Adapun secara rata-rata, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tumbuh di atas 20% sejak 2016.
(Baca: IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi, Darmin: Kami Masih Optimistis Capai 5,3%)
Hal lain yang menjadi sorotan The Economist tentang janji kampanye Jokowi pada 2014 yang menyatakan di akhir masa pemerintahan yang menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7%, namun hal itu terjadi pertumbuhan PDB hanya bergerak di kisaran 5% selama ia menjabat. Pada 2019, prospek perekonomian dunia pun diprediksi tidak lebih baik karena bank sentral telah menaikkan suku bunga sebanyak enam kali dalam sembilan bulan terakhir.
Sementara menurut perhitungan Bank Dunia, pertumbuhan Indonesia di angka 5,5% saat Jokowi menjabat. Pertumuhan ekonomi bisa meningkat lebih tunggi jika Indonesia menghidupkan kembali geliat sektor manufaktur dan menjadi bagian dari rantai pasok global.
Menanggapi masalah pertumbuhan ekonomi tersebut, Erani menyebut indikator makro ekonomi Indonesia tetap solid dan cenderung membaik. Dia pun mendasarkan indikator pertumbuhan ekonomi tersebut pada sejumlah hal, seperti tren pertumbuhan ekonomi Indonesia justru naik dari 5,01% pada triwulan ketiga 2014 menjadi 5,17% pada triwulan ketiga 2018. Lebih baik daripada penurunan pada periode 2011-2015, dari 6,4% pada 2011 menjadi 4,9% pada 2015.
Kemudian tingkat kemiskinan turun dari 11% tahun 2014 menjadi 9,6% pada 2018. Pengangguran pun ikut turun dari 5,94% pada 2014 menjadi 5,3% dan ketimpangan pendapatan turun dari 0,4 pada 2014 menjadi 0,38 pada 2018.
Terakhir, menjawab kritikan The Economist tentang infatsruktur Erani mengatakan Jokowi telah menyelesaikan pembangunan infrastruktur yang tertunda serta membuat pembangunan baru. Mengutip rilis World Economic Forum (WEF) 2017-2018, bahwa Infrastruktur bukan lagi menjadi tiga masalah utama daya saing di Indonesia. Infrastruktur telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang berdaya saing dan mampu menekan inflasi ke tingkat terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Karenanya, infrastruktur juga menjadi cara pemerintah untuk menjamin keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. "Pembangunan infrastruktur terfokus di Jawa dan kini sudah disebar ke seluruh kawasan dan memastikan pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak dalam jangka panjang," ujar Erani.