Dikritik Economist, Istana Bantah Kebijakan Populis Jelang Pilpres

Michael Reily
28 Januari 2019, 19:51
infrastruktur
Arief Kamaludin|KATADATA

Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika angkat bicara atas kritik media ekonomi asal Inggris, The Economist yang menyinggung kebijakan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terlalu populis jelang Pemilihan Presiden (Pilpres). Dia mengungkapkan kondisi ekonomi dunia tidak berada dalam kondisi bugar sepanjang 2018.

"Kondisi global memaksa sebagian besar negara menggunakan kebijakan yang cenderung ketat agar stabilitas ekonomi terjaga," kata Erani dalam keterangannya, dikutip Senin (28/1).

Menurut dia, penilaian The Economist terhadap perubahan fokus anggaran dari infrastruktur menjadi subsidi tidak sesuai fakta. Selain itu, dia membantah perspektif bahwa fokus anggaran terhadap belanja modal untuk infrastruktur semakin menurun.

(Baca: Pembangunan Infrastruktur Masif, Akankah Dongkrak Ekonomi?)

Dia mencatat, dalam periode 2005-2009, porsi belanja subsidi terhadap belanja negara mencapai 20,5% per tahun dan periode 2010-2014 rata-rata 21,6% per tahun. Sedangkan untuk pemerintahan pada 2015-2019, subsidi hanya mengambil porsi 9,5% per tahun terhadap belanja negara. Bahkan, tahun ini, porsi belanja subsidi hanya 9,1% dari belanja negara.

Untuk pertumbuhannya, dia membandingkan porsi belanja subsidi periode 2010-2014 dengan 2015-2019. Jika pada 2010-2014, belanja subsidi naik rata-rata 24,6% per tahun, sedangkan periode 2015-2019 turun rata-rata 6% per tahun.

Kondisi ekonomi global yang tak menentu juga membuat pemerintah menaikkan suku bunga sebanyak enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan mata uang yang mengkhawatirkan.  Kenaikan suku bunga juga dilakukan hampir seluruh bank sentral di dunia dengan besaran yang berbeda.

Menurut data Bank Indonesia (BI), suku bunga acuan di Turki naik dari 8,25% pada Januari 2018 menjadi 24% pada Desember 2018. Korea Selatan juga naik dari 1,5% menjadi 1,75%; Hong Kong naik dari 1,75% menjadi 2,75%. India naik dari 6% menjadi 6,5%; Filipina naik dari 3% menjadi 4,75%; Argentina naik dari 26,28% menjadi 60,31%; dan Meksiko naik dari 7,25% menjadi 8,25%.

(Baca juga: Ekonomi Global Kemungkinan Lebih Lemah, Indonesia Diprediksi Stabil)

Selain lewat kebijakan moneter, pemerintah mengeluarkan beberapa langkah untuk menguragi tekanan pada neraca transaksi berjalan. "Seperti menaikkan PPh barang impor, serta penggunaan B20 untuk mengurangi impor BBM," ujar Erani.

Menjawab kritik terhadap minat investasi, Erani menuturkan sepanjang 2015-2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2% per tahun, sedangkan periode 2012-2014 rata-rata tumbuh hanya 3,5% per tahun.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...