Skema Waralaba Jadi Favorit Usaha Kuliner Kebab
Bisnis kebab berupa gerai nonpermanen mudah dijumpai masyarakat di sejumlah wilayah. Yakin pasar potensial, beberapa merek kuliner khas Timur Tengah ini memilih skema waralaba untuk memperbesar bisnisnya.
Ketua Umum Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia Levita Supit mengatakan, semua bisnis memungkinkan untuk menggunakan sistem waralaba. Yang penting, usaha bersangkutan unik dan secara teknis memungkinkan untuk dipelajari mitra.
"Usaha waralaba di peringkat tertinggi adalah kuliner atau makanan dan minuman. Setelah itu, jasa lalu retail," tuturnya kepada Katadata.co.id, Senin (28/1). (Baca juga: Peluang Bisnis Waralaba Kuliner Olahan Ayam Belum Jenuh)
Di antara 16 subsektor ekonomi kreatif, bidang kuliner terbanyak menerapkan skema waralaba oleh 17.390 usaha pada 2016. Jumlah ini terbilang sedikit dibandingkan dengan pebisnis yang tidak menerapkan sistem franchising mencapai 5,5 juta usaha.
Khusus untuk kebab, menu mulai dikenal masyarakat perkotaan setidaknya sejak 2003. Pada saat itu, daging gantung dibungkus roti tortila bermerek Kebab Turki Baba Rafi tampil dalam rupa gerai nonpermanen di Surabaya, Jawa Timur.
Konsumen merespon positif. Manajemen Baba Rafi merapikan strategi pemasaran guna memperbesar skala usahanya. Pada 2005, sistem waralaba dipilih Hendi Setiono selaku pendiri untuk melanggengkan usaha kebab ini.
Sampai sekarang, gerai Kebab Turki Baba Rafi di Indonesia mencapai sekitar 1.300 unit. Secara keseluruhan, merek kuliner ini menjangkau sembilan negara di antaranya Malaysia, Filipina, China, dan Brunei Darussalam.
Celah bisnis kuliner kebab ditangkap pula oleh Bobby Hendrawan. Pada 2006, dia membuka gerai nonpermanen di Surabaya bermerek Kebab Kings. Setahun kemudian, Bobby juga menerapkan sistem kemitraan. Mengutip laman resmi, kini beroperasi sekitar 700 cabang Kebab Kings di berbagai wilayah Indonesia.
(Baca juga: Tren Kuliner 2019, Orisinalitas Menu Jadi Orientasi Utama Konsumen)
Levita mengatakan, ketika memulai maupun selama mempertahankan bisnis harus mencermati tren yang berkembang. "Lihat apa yang sedang digemari masyarakat dan coba sediakan semua yg dibutuhkan masyarakat," ujarnya.
Melihat respon positif terhadap usaha kuliner kebab sebelumnya, Hefni Tri Sriyantono ikut bermain mengusung Zahfy Kebab sejak 2009. Setahun kemudian, merek ini mulai menerapkan sistem kemitraan pula. Zahfy Kebab tak hanya menyajikan kebab tetapi juga roti maryam lantas merambah menu nasi goreng dan mi goreng kebab.
Setiap pemilik jaringan waralaba memiliki perhitungan investasi berbeda meskipun produk yang dijual sama, seperti halnya tiga jenama kebab tersebut. (Baca juga: Jadi Tren Kuliner, Salted Egg Dibanderol Mulai Rp 20.000 Per Porsi)
Kebab Turki Baba Rafi menawarkan paket kemitraan mulai dari Rp 75 juta sampai dengan Rp 300 juta terdiri dari lima tipe gerai. Nilai investasi termahal, di atas Rp 100 juta, khusus untuk outlet premium, kontainer, dan kafe.
Berbeda lagi dengan Kebab Kings yang menawarkan investasi awal mulai dari Rp 50 juta dan termahal sekitar Rp 110 juta. Jaringan waralaba ini juga punya lima tipe gerai, yaitu gerobak, booth, motor, kios delapan meter persegi, serta kios 24 jam seluas sepuluh meter persegi.
Sementara itu, nilai investasi untuk bermitra dengan Zahfy Kebab relatif lebih terjangkau. Gerai tipe gerobak cukup merogoh Rp 22,5 juta sedangkan yang termahal berupa kios foodcourt senilai Rp 65 juta. (Baca juga: Layanan Reservasi Eatigo Incar Restoran Populer Jadi Mitra)
Levita mengingatkan agar para pemilik jaringan waralaba terus berinovasi meskipun publik terbilang sudah familiar dengan produk mereka. "Bisnis yang sudah berjalan lama perlu pembaruan, mulai dari desain, konsep, produk, sampai pemasaran," ucap dia.
Industri makanan dan minuman sejauh ini menjadi andalan sektor ekonomi kreatif nasional. Pada 2016, subsektor kuliner berkontribusi sebesar 41,40 persen terhadap produk domestik bruti (PDB) ekonomi kreatif setara Rp 381,99 miliar.