Reformasi Subsidi Kunci Memutus Ketergantungan Energi Fosil
Sudah waktunya Indonesia meninggalkan bahan bakar fosil dan beralih ke energi bersih. Untuk memutus ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil itu, salah satu kuncinya adalah reformasi anggaran subsidi.
Laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) bertajuk “Beyond Fossil Fuels: Indonesia’s fiscal transition” yang dirilis Januari 2019 mengungkap sejumlah alasan Indonesia perlu memutus ketergantungan terhadap energi fosil. Salah satunya adalah mengenai terus menurunnya cadangan serta produksi dari minyak dan gas bumi (migas).
Jika, mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), cadangan minyak memang terus menurun sejak tahun 2010. Pada tahun 2010, cadangan minyak bisa mencapai 4,23 miliar barel dan kini hanya tersisa 3,15 miliar barel.
Alasan lainnya yakni kontribusi energi fosil terhadap ekspor juga terus menurun. Dari data yang dihimpun, ekspor minyak pada 2011 bisa mencapai US$ 13,8 miliar, tapi tahun 2015 hanya US$ 6,5 miliar. Ekspor gas juga turun dari US$ 22,9 miliar pada 2011 jadi US$ 10,3 miliar di tahun 2015. Ekspor batu bara pun bernasib sama yakni turun menjadi US$ 15,9 miliar di tahun 2015, dari US$ 27,2 miliar pada 2011.
Indonesia juga perlu beralih dari energi fosil ke energi bersih agar target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% bisa tercapai tahun 2025. Apalagi, Indonesia juga memiliki kesepakatan Paris yang ikut berkontribusi dengan mengurangi emisi 29%. Sedangkan per tahun 2015, penggunaan energi terbarukan hanya tercapai 7%.
Energi fosil juga tidak bisa lagi menjadi andalan karena kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto terus menurun. Sebagai contoh, pendapatan pemerintah dari sektor hulu migas pada 2001 bisa mencapai 35%, tapi di 2016 hanya 6%.
Tak hanya itu, ketergantungan terhadap energi fosil juga bisa menguras subsidi. “Subsidi fosil kurang efisien, manfaatnya juga tidak tepat sasaran, dan mendorong pemborosan energi,” ujar Senior Policy Advisor and Lead of IISD’s Indonesia, Philip Gass di Jakarta, Kamis (31/1).
Data IISD menunjukkan sepanjang 2014-2016, Pemerintah Indonesia menghimpun rata-rata Rp 190 triliun dari pendapatan pajak dan bukan pajak hulu minyak dan gas. Di sisi lain, pemerintah menghabiskan dana yang jumlahnya tidak jauh berbeda dengan itu untuk membayar subsidi bahan bakar dan listrik.
Padahal, subsidi itu bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih produktif. Sebagai contoh, pada tahun 2015 subsidi bahan bakar minyak mencapai Rp 211 triliun, dan dari dana itu bisa dialihkan untuk dana desa Rp 34,7 triliun, Rp 148,2 triliun untuk program pengentasan kemiskinan, sisanya Rp 63,1 triliun untuk alokasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membangun infrastruktur.
Alhasil, untuk membuat alokasi sumber daya yang efisien dan merata untuk berbagai jenis energi, IISD menilai subsidi semacam itu harus dihapuskan. Namun, untuk konsumen energi yang rentan harus menerima lebih banyak bantuan.
Koordinator IISD Indonesia Lucky Lontoh, juga menilai, subsidi fosil itu bisa dialihkan ke energi bersih. "Jika Indonesia melakukan lebih banyak reformasi subsidi, kami dapat bergerak lebih cepat untuk membangun energi bersih, dan menghemat pendapatan yang bisa disalurkan untuk investasi yang bermanfaat bagi semua orang," kata dia.
(Baca: Subsidi Energi Selama 2018 Bengkak Jadi Rp 153 T, Terbesar untuk Solar)
President Director PT Q Energy South East Asia David Braithwaite pun berpendapat sudah seharusnya Indonesia melakukan diversifikasi karena kontribusi sektor migas kalah dari nonmigas. “Jadi diversifikasi di luar bahan bakar fosil diperlukan," kata dia.
Direktur Riset Katadata Heri Susanto mengapresiasi hasil laporan IISD tersebut dan berharap bisa diaplikasikan oleh pemerintah. "Kami dari katadata sangat support hasil riset ini kami harap ide ini bisa diterapkan untuk pemirintah ke depan," kata dia.