Deindustrialisasi Berpotensi Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Michael Reily
8 Februari 2019, 19:55
Pabrik Konveksi Pan Brothers
Katadata

Perlambatan industri dan ketergantungan terhadap komoditas berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Karenanya, untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,  pemerintah perlu mendiversifikasi dan meningkatkan sektor industri manufaktur dalam negeri. 

Hal tersebut diketahui dari publikasi bersama yang dirilis Asian Development Bank (ADB) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang berjudul Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan Sektor Manufaktur Indonesia 2020–2024.

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan ketergantungan pada sektor komoditas telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia  melambat sejak krisis finansial 1998. "Setelah tahun 2000, ketika kita mencoba pulih, kita tidak bisa mengangkat industrialisasi," kata dia di Jakarta, Jumat (8/2).

(Baca: Impor Baja Tiongkok Masih Akan Menggerus Neraca Perdagangan)

Bambang mengatakan, rata-rata pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 hingga 2017 hanya sekitar 5,3%. Pada periode tersebut, pertumbuhan industri manufaktur juga selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi.

Karenanya, dia pun menyebut Indonesia telah menunjukan gejala deindustrialisasi. Fenomena itu terlihat dari porsi industri manufaktur dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang merosot.

Padahal, industri manufaktur pernah mencatat titik tertinggi  sepanjang sejarah yakni pada 2002. Kala itu kontribusi manufaktur terhadap PDB  mencapai hingga 31,95%. Namun, porsi industri manufaktur terhadap PDB  terus menurun. Terakhir,  kontribusi manufaktur terhadap PDB hanya mencapai 19,86% pada 2018. "Ini yang terendah sejak krisis finansial," ujar Bambang.

Indonesia terus bergantung pada komoditas nonmanufaktur sejak tahun 1970.  Sebagai gambaran, eksor batu bara, minyak nabati, serta gas alam merupakan tiga  jenis komoditas ekspor terbesar  pada2018. Sebaliknya, sektor manufaktur Indonesia saat ini kurang terdiversifikasi, sehingga hanya  sedikit jenis produk manufaktur yang bisa diekspor, seperti tekstil dan petroleum.

(Baca: Manufaktur Sebagai Sektor Ekonomi Utama Tumbuh Stagnan Tiga Tahun Ini)

Dengan begitu, dampak terbesar dari ketergantungan komoditas ini yakni Indonesia mengalami tantangan produktivitas yang rendah akibat rendahnya ekspor bernilai tambah. Bahkan, level produktivitas Indonesia juga disebut lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya.

Oleh karena itu, industrialisasi dan peningkatan sumber daya manusia harus menjadi fokus utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. "Itu langkah yang harus kita lakukan bersama untuk membangun perekonomian berkelanjutan," kata Bambang.

Indonesia juga harus lebih selektif dalam pengembangan industri yang potensial untuk ikut serta dalam rantai nilai global (GVC).  Contoh industri yang berpotensi dalam rantai nilai global adalah otomotif dan elektronik.

Dengan keikutsertaan Indonesia dalam rantai nilai global, maka itu tersebut diprediksi bisa  meningkatkan surplus perdagangan. Sehingga, defisit neraca pembayaran bisa semakin mengecil.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...