Neraca perdagangan mengalami defisit terbesar sepanjang sejarah pada 2018 lalu.  Penyebab utama lonjakan defisit neraca perdagangan yakni membengkaknya impor perdagangan nonmigas, terutama dari besi dan baja.

Defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 mencapai nilai US$ 8,56 miliar, padahal tahun sebelumnya surplus US$ 11,84 miliar. Penyumbang defisit dari kenaikan nilai impor sebesar 20,15 % menjadi US$ 188,63 miliar sedangkan nilai ekspor hanya meningkat 6,65% menjadi US$ 180,06 miliar.

Membengkaknya impor 2018 disumbang impor besi dan baja dengan nilai US$ 10,25 miliar atau naik 28,31% dibanding tahun sebelumnya. Nilai impor ini berkontribusi sebesar 6,45% dari total impor nonmigas nasional.

Serbuan impor baja terutama dari Tiongkok, produsen baja terbesar di dunia, telah dirasakan sejak terbitnya aturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya. Beleid yang terbit sejak 1 Februari 2018 ini menghapus beberapa ketentuan dari aturan sebelumnya seperti pemeriksaan atau inspeksi di wilayah kepabeanan dan penghapusan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Tujuan sebenarnya untuk menurunkan waktu tunggu barang di pelabuhan (dwelling time), namun malah membuka celah masuknya impor baja dengan modus mengganti Harmonized System (HS) dari baja jenis karbon atau carbon steel menjadi jenis alloy steel.

Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Silmy Karim mengatakan, HS baja karbon diubah menjadi alloy steel hanya dengan penambahan boron untuk mengurangi bea masuk. Seharusnya, impor baja karbon dikenakan bea masuk sekitar 10%-15%. Namun, dengan penambahan lapisan boron yang sangat tipis maka baja karbon tersebut terlihat menjadi alloy steel dan mendapatkan bea masuk sebesar 0%-5%.

Selain itu, pengimpor mendapat rebate dari negara asalnya sekitar 10%. Akibatnya produk baja lokal menjadi tidak kompetitif. Dalam hitungan bulan sejak aturan diterbitkan,  peningkatan impor baja sekitar 59% pada kuartal pertama 2018 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Pengalihan HS number dari carbon steel ke alloy steel, membuat importir bebas bea masuk. Akibatnya kami sudah kalah 25-28%. Tidak mungkin bersainglah,” kata Silmy saat wawancara khusus dengan Katadata.co.id, beberapa waktu lalu. 

(Baca Wawancara: Regulasi yang Membuat Industri Baja Tidak Bertambah Sehat)

Setelah mendapat desakan dari industri baja dalam negeri, Kementerian Perdagangan mencabut Permendag Nomor 22 tahun 2018 pada akhir Desember 2018. Aturan tersebut diganti Permendag Nomor 110 tahun 2018 yang berlaku mulai 23 Januari 2019 lalu.

Aturan itu mengembalikan ketentuan pemeriksaan impor besi dan baja dari luar wilayah kepabeanan (post-border) menjadi ke wilayah kepabeanan (border) melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Selain itu, mengembalikan syarat pertimbangan teknis dari Menteri Perindustrian.

(Baca juga: Aturan Pengembalian Pemeriksaan Impor Baja Berlaku 20 Januari 2019)

Kepala Institute for Technology and Economic Policy Studies (INSTEPS) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan, dampak pencabutan Permendag Nomor 22 tahun 2018 tak akan menghentikan laju impor baja. Permintaan baja di dalam negeri pada 2019 akan terus meningkat sementara kapasitas produksi dalam negeri belum bertambah dalam waktu singkat.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement