AIPI: Indonesia Membutuhkan Badan Pengelola Dana Riset
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) mengusulkan agar pemerintah membentuk badan khusus untuk mengelola dana riset.
Wakil Ketua AIPI, Sofian Effendi, mengatakan perlu adanya badan khusus untuk perencanaan dan pendanaan riset, bukan badan atau lembaga baru untuk riset. Sebab, badan atau lembaga riset sudah ada di kementerian-kementerian atau lembaga nonkementerian. Badan khusus ini dapat berupa dewan khusus untuk mengelola dana penelitian.
“Badan ini nantinya sebagai perencanaan penelitian-penelitian dan terobosan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran bangsa Indonesia. Kemudian, dirumuskan bagaimana pembiayaannya,” kata Sofian saat ditemui di Kantor Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Senin, 1 April 2019.
Namun, sebelum membentuk kebijakan perlu ditelaah terlebih dulu apa permasalahan utama dari pendanaan riset itu. Menurut Sofian, terdapat dua masalah utama, yaitu anggaran pendanaan yang tidak mencukupi dan belum ada lembaga untuk perencanaan dan pembiayaan riset.
Sofian menilai dana untuk riset di Tanah Air masih sangat kecil dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto yang dimiliki Indonesia. “Idealnya, minimal 1 persen dari PDB. Itu artinya kalau PDB Indonesia itu Rp 14.800 triliun, ya idealnya dana riset dan teknologi Rp 148 triliun per tahun,” kata Sofian, yang juga Ketua KASN.
Pemerintah pusat mengalokasikan dana riset sebesar Rp 24,9 triliun atau sebesar 0,9 persen dari PDB Indonesia pada 2016. Itupun sebagian besar habis untuk biaya operasional, seperti gaji pegawai dan lain-lain. Bukan untuk dana risetnya sendiri.
Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 juga mengalokasikan Dana Abadi Penelitian senilai Rp 990 miliar. Sofian juga menilai dana abadi itu juga masih kurang mencukupi untuk kebutuhan riset jika Indonesia ingin mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan industrinya. “Dana sebesar itu untuk satu penelitian saja tidak cukup, kalau kita ingin membuat penelitian tentang pesawat terbang misalnya,” ujarnya.
Sofian menambahkan peran swasta sangat sedikit dalam pendanaan riset. Swasta hanya berkontribusi 16 persen dari total dana riset, sementara pemerintah mendominasi hingga 84 persen. Padahal, secara ideal pemerintah dapat berkolaborasi dengan swasta di bidang riset dan teknologi serta industri. Karena itu, tidak bisa lagi tidak melibatkan swasta karena swasta lebih kenal dengan riset dan teknologi daripada para peneliti di kementerian.
Tidak adanya lembaga perencanaan dan pendanaan khusus untuk riset juga menambah peliknya permasalahan pendanaan riset, sehingga pembiayaan riset perlu diorganisir oleh lembaga khusus. Apalagi penelitian itu tidak bisa dikelola seperti pengelolaan anggaran pemerintah yang hanya berlaku untuk satu tahun kerja.
Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Berry Juliandi, juga berpendapat dengan adanya dana abadi riset, perlu ada badan pengelola dana khusus untuk riset sehingga dana abadi tersebut dapat digunakan optimal.
“Yang perlu kita perhatikan sekarang adalah siapa pengelolanya, apakah akan terpusat di satu lembaga, apakah akan tersebar, itu yang belum kita ketahui,” kata Berry saat ditemui di Perpustakaan Nasional, Kamis, 21 Maret 2019. Dengan adanya dana abadi riset ini justru bisa menjadi masalah jika belum ada lembaga yang menaungi dan bagaimana tata kelola dari dana itu nantinya.
Berry juga menjelaskan bahwa alokasi dana riset kementerian dan lembaga saat ini tidak murni untuk kepentingan riset. Dana Rp 24 triliun yang murni untuk dana riset itu kecil sekali. Sisanya lebih banyak pengeluaran untuk rutinitas kepegawaian, gaji, dan lain-lain.
Untuk mengatasi masalah pembiayaan riset, Sofian mengusulkan agar Dewan Riset Nasional (DRN) bentukan BJ Habibie pada saat masih menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 1981 kembali dihidupkan, karena tujuan lembaga itu didirikan untuk perencanaan dan pengelolaan dana riset. Bahkan DRN saat di bawah kepemimpinan Habibie sudah berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan swasta Indonesia yang berfokus pada industri strategis sampai akhirnya bisa melahirkan industri pesawat terbang, kapal, dan kereta api. (*)