Ani Yudhoyono, Putri Tomboi yang Menawan Hati SBY
Kristiani Herrawati, putri dari Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, tutup usia pada 1 Juni 2019 pukul 11.50 waktu Singapura. Kanker darah (leukemia) yang diderita selama empat bulan terakhir membuat kondisinya menurun dengan cepat meskipun berada dalam perawatan intensif dokter-dokter di National University Hospital (NUH).
Jeng Ani, begitulah panggilan kesayangan dari suaminya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Istri terkasih SBY tersebut dikenal sebagai pribadi yang tangguh berkat didikan keras dari kedua orang tuanya. “Jadi anak prajurit tidak boleh cengeng, apalagi penakut. Kalian harus berani menegakkan kebenaran. Harus tegar jika suatu saat terpisahkan dari Papi karena tugas dalam waktu lama,” ujar Sarwo Edhie kepada putra-putrinya, seperti dikutip dari buku biografi Ani yang berjudul Kepak Sayap Putri Prajurit.
Ani adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Komunikasi yang terjalin antara orang tua Ani dan anak-anaknya terbilang baik. Mereka membiasakan budaya diskusi antara orang tua dan anak beberapa kali dalam seminggu setelah makan malam. Kebiasaan inilah yang membentuk mentalitas anak-anaknya untuk belajar, bersikap, dan berbicara tanpa tekanan sehingga menyenangkan untuk dijalani.
Tak lupa Sang Papi memberikan wejangan untuk menumbuhkan keberanian berbicara kepada anak-anaknya, “Jangan takut berbicara pada siapa pun, selama kita hormat dan santun. Tidak perlu minder, apalagi gentar. Semua manusia memiliki martabat,” ujarnya.
Ucapan ini diterapkan ketika ada kunjungan tamu yang datang. Anak-anaknya ditugaskan untuk menerima tamu sekaligus menemani berbicara saat ayahnya pergi mandi dan berpakaian. Selain itu, anaknya juga diikutsertakan dan diminta untuk mengobrol bersama dengan koleganya dalam berbagai acara.
Inilah nilai demokrasi yang pertama kali ditanamkan sehingga Ani sejak kecil memiliki kemampuan berbicara tanpa rasa takut. Meski diberikan kebebasan dalam berbicara, Sang Papi tidak lupa memberikan wejangan untuk mengontrol pembicaraan termasuk adab dalam bercanda. Ia hampiri jika anaknya sedang bercanda dan tertawa berlebihan.
“Kalau bercanda jangan kebablasan. Apalagi kalau kalian sudah menjadi pemimpin kelak. Papi punya teman karena kebanyakan bercanda maka ia gagal jadi pemimpin," katanya. Wejangan ini juga diikuti dengan penanaman tata krama dari berbusana hingga sikap duduk yang baik.
(Baca: Ani Yudhoyono Meninggal Dunia Setelah Menjalani Perawatan Intensif)
Ani Kecil Lihai Memanjat Pohon
Meski telah dididik sedemikian rupa, di sisi lain Ani muda dikenal sebagai perempuan tomboi. Saat tinggal di Yogya, rumah dinas yang ditempati oleh keluarga Sarwo Edhie memiliki halaman yang luas dan pohon besar. Di antara tujuh bersaudara, hanya Ani yang berhasil mencapai dahan tertinggi. Ia betah duduk berjam-jam di dahan dan baru turun jika ibunya meneriaki untuk makan atau mandi. Cara Ani turun sangat lincah, seperti Tarzan.
Ani juga pernah nekat memetik jambu di kebun orang tanpa sepengetahuan pemiliknya karena tidak diizinkan. Ani kecil pun memanjat dan memetik beberapa buah jambu untuk diberikan kepada ibunya. Namun, kebanggaannya sebagai pemanjat pohon sempat runtuh. Saat Ani asyik memanjat, terdapat ulat hijau berbaris di bawah dahan pohon yang dihinggapi Ani. Alhasil, Ani pun menjerit ketakutan.
Ani bukan hanya lihai memanjat pohon. Ia juga jago berenang di Sungai Ciliwung sehingga bahunya menjadi tegap seperti atlet. Sawah dan perkebunan juga menjadi tempat bermain Ani sehari-hari.
Meski dikenal sebagai pribadi yang tangguh, Ani dilahirkan dalam kondisi prematur saat usia kandungan ibunya baru tujuh bulan. Berat Ani hanya dua kilogram dan harus hidup dalam inkubator lebih dari dua minggu agar tidak kedinginan. Meski begitu, ibunya tetap sabar merawat Ani kecil dengan dua botol panas agar tetap hangat. Ani yang lahir pada 6 Juli 1952 di RS Bethesda, Yogyakarta, akhirnya tumbuh sehat tanpa ada bekas bahwa ia lahir prematur.
Sunarti Sri Hadiyah, ibunda Ani, juga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Kakak sulung dan kakak kedua Ani, yakni Wijiasih Cahyasasi (Wiwiek) dan Wrahasti Cendrawasih (Titiek) pandai memasak, sedangkan adiknya Mastuti Rahayu (Tuti) lihai menjahit.
Sementara itu, Ani masih berusaha mengasah keterampilannya untuk pekerjaan rumah. Ia merasa kesulitan karena sifat tomboi dan kegemarannya bermain di alam membuat jarinya tidak lentur. Ani pernah menangis saat hasil jahitan sarungnya tidak jadi, tetapi ia terus berusaha meski hasilnya tidak menggembirakan.
(Baca: AHY Kisahkan Upaya Ani Yudhoyono Mengobati Sakit Kanker Selama 4 Bulan)
Resah Saat Ditinggal SBY Bertugas di Timtim 11 Bulan
Pelajaran pertama Ani sebagai anak prajurit dirasakannya ketika peristiwa G30S/PKI. Kondisi saat itu tidak kondusif, bahkan setelah penumpasan pemberontakan. Kompleks rumah keluarga Ani senyap. Warga memilih untuk merapatkan pintu, menggembok pintu pagar, dan tidak berkeliaran di luar rumah.
Sarwo Edhie, yang saat itu menjadi Komandan RPKAD, bertugas menumpas PKI. Setelah kembali ke rumah, bukan berarti tugasnya selesai. Ia harus berkeliling menyisir pelosok Pulau Jawa untuk mencari sisa-sisa pengikut PKI.
Ibunya dalam menjalankan peran sebagai istri konsisten tidak mengobral informasi mengenai sepak terjang suaminya. Ani banyak belajar dari ibunya yang tidak resah meski ditinggal suami yang mengemban tugas berat. Ibunya terlihat tenang menyikapi keadaan ini. Hal ini membuktikan ketangguhannya sebagai istri tentara, sekaligus menjalankan perannya sebagai ibu yang tegar dihadapan anak-anaknya.
Ani teringat wejangan papinya bahwa buah tidak akan jatuh dari pohonnya. “Ya, siapa tahu kita juga akan jadi istri tentara,” ungkapnya kepada ketiga saudara perempuannya. Ungkapan itu menjadi kenyataan. Wiwiek, Titiek, Ani, dan Tuti benar-benar menjadi istri tentara.
Pertemuan Ani dengan SBY diawali dari pandangan pertama dalam acara peresmian Balai Taruna. Ani terpesona melihat SBY yang jangkung, tampan, dan tegap. SBY pun merasakan perasaan yang sama terhadap Ani sehingga keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan. Meski sempat menjalin kasih jarak jauh, akhirnya SBY berhasil menikahi Ani.
Sarwo Edhie yang pada waktu itu menjadi duta besar RI untuk Korea Selatan. Ia menikahkan tiga putrinya sekaligus, yakni Titiek, Ani, dan Tuti agar tidak perlu bolak-balik mengambil cuti untuk menikahkan anaknya. "Lagipula, kalau kalian dinikahkan bersama, dampaknya juga lebih efisien. Irit biaya,” kata Sang Papi yang diikuti dengan patuh oleh ketiga putrinya.
Awal pernikahan Ani tidak berjalan menyenangkan. Beberapa hari setelah pernikahan, SBY ditugaskan ke Timor Timur. SBY mengikuti Operasi Seroja yang bertujuan untuk membebaskan dan menyatukan Timor Timur agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tugas ini sangat mendadak yang mengharuskan SBY untuk berangkat saat itu juga. Selain itu dikabarkan kondisi peperangan sangat mengerikan, seperti meletusnya konflik antara tentara Fretilin, UDT, dan Apodeti.
Inilah ujian pertama Ani sebagai istri tentara. Ia teringat nilai-nilai yang ditanamkan oleh ibunya. Apabila suami siap berangkat dalam berjuang untuk negara maka sang istri pun harus menyerukan siap untuk ditinggal. “Begitulah rasanya jadi ibuku, begini rasanya jadi istri prajurit,” batin Ani.
Berbulan-bulan dilewati oleh Ani dengan gelisah. Hingga datang surat dari SBY dengan kondisi kucel, lecek, dan berdebu. Surat yang ditulis selang beberapa hari setelah kedatangannya di Timor Timur itu baru sampai ke tangan Ani beberapa bulan kemudian karena sulitnya akses pos dan telekomunikasi. SBY berpesan agar Ani terus bertawakal dan berdoa, serta melihat sisi positif dari kejadian ini yang semakin mendewasakan SBY dan Ani.
Di bulan kesebelas, doa Ani dan SBY terkabul. SBY kembali dengan kondisi sehat dan segar bugar. Ani pun memeluk suaminya dengan rindu yang tak tertahankan sambil menangis. Bagi Ani yang tomboi, ini merupakan kali pertamanya ia menangis dalam jangka waktu lama.
(Baca: Sosok dan Jasa Ani Yudhoyono di Mata Presiden Jokowi)