Debat Tim Jokowi vs Prabowo soal Kewenangan MK dalam Sengketa Pilpres
Tim kuasa hukum Joko Widodo-Ma’ruf Amin hari ini membacakan jawaban atas permohonan sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diajukan pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Salah satu poin yang disampaikan tim Jokowi-Ma’ruf mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani sengketa Pilpres.
Kedua kubu, memiliki pandangan bertolak belakang mengenai kewenangan MK dalam sengketa Pilpres. Dalam berkas gugatan yang dibacakan dalam sidang perdana pada Jumat (14/6), tim kuasa hukum Prabowo-Sandi yang diwakili Denny Indrayana mengatakan MK memiliki kewenangan menangani semua proses permasalahan Pemilu. Tidak hanya pada perselisihan jumlah suara, namun juga proses dugaan pelanggaran Terstruktur, Sistematis, Masif (TSM).
Sementara itu, dalam berkas jawabannya, kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan kewenangan MK terbatas pada memutus perselisihan tentang hasil Pemilu. Hal ini tercantum dalam pasal 24 C ayat 1 UUD 1945.
(Baca: Yusril Sebut Dalil Permohonan Prabowo-Sandiaga Bersifat Asumtif)
Selanjutnya berdasarkan pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK ditegaskan kembali bahwa kewenangan MK adalah menguji UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lebih jauh MK juga mengatur pasal 8 ayat 1 poin b angka 4 dan 5 PMK 4/2018 tentang permohonan pemohon. Dalam pokok permohonan ditentukan pemuatan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara ditetapkan termohon dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon, sedangkan di dalam Petitum dimuat adanya permohonan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar.
“Pemohon (tim Prabowo-Sandi) tidak menerangkan tentang perselisihan hasil perolehan suara sebagai objek perkara yang seharusnya menjadi syarat formil dalam permohonan,” kata Yusril.
(Baca: KPU Tuding Prabowo-Sandiaga Berupaya Menggiring Opini MK Tak Adil)
Dia mengatakan dalam permohonan tim Prabowo-Sandi sama sekali tidak mendalilkan adanya perselisihan hasil perolehan suara dengan pihak terkait. “Pemohon hanya mendalilkan adanya pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif, sebagaimana disebutkan dalam dalil pemohon,” kata Yusril.
Dia lebih lanjut mengatakan dalil tersebut merupakan asumsi, tidak disertai bukti-bukti yang sah, dan tidak pula dapat terukur secara pasti dan sebesar apa dampaknya terhadap perolehan suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Yusril juga menyebutkan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tuduhan adanya pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, massif dan sistematis tersebut telah diatur dalam Pasal 286 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam aturan tersebut penyelesain perkara Pemilu melalui Bawaslu. Lembaga tersebut dapat memberikan rekomendasi pembatalan calon kepada KPU.
Argumen “Mahkamah Kalkulator” dari Tim Prabowo-Sandi
Salah satu anggota kuasa hukum Prabowo - Sandiaga, Teuku Abdullah menyebut pandangan tim hukum kubunya sesuai dengan pendapat beberapa ahli. Teuku mengatakan meskipun UU Nomor 7 tahun 2017 membagi forum penyelesaian dugaan kecurangan secara bertahap, namun timnya menganggap pendekatan tersebut tidak tepat dan mengecilkan peran MK sebagai pengawal kontutusi.
Beberapa penguat argumen ini adalah putusan MK, di antaranya Nomor 45/PHPU-D-VIII/2010, saat MK memutuskan perkara Pemilikada Kotwaringin Barat tahun 2010. Mereka pun mengutip beberapa ahli dalam konteks Pemilukada, yang menolak jika MK hanya melakukan kerja teknis kalkulasi suara, atau hanya menjadi Mahkamah Kalkulator.
“Pemilu harus dipahami sebagai suatu proses yang bukan hanya ditentukan pada hari H pemungutan suara, tetapi bagaimana seluruh proses dijalankan secara fair,” bunyi berkas gugatan Prabowo.
(Baca juga: KPU dan Tim Jokowi-Ma'ruf Minta MK Tolak Revisi Permohonan Prabowo)
Lebih lanjut, tim hukum Prabowo menganggap pasangan capres yang dipilih pada hari pemungutan suara adalah akibat dari rangkaian proses pemilu yang terjadi sebelumnya. Jadi bila proses sebelumnya curang, maka pemungutan suara yang dihasilkan tidak dapat diterima apalagi disahkan.
Sehingga kubu prabowo menganggap MK berwenang memeriksa kecurangan atau pelanggaran Pemilu dalam setiap tahapan, tidak hanya terbatas pada hasil perhitungan suara saja. MK pun dianggap berwenang membatalkan kemenangan suatu pasangan calon yang terbukti curang, meskipun penghitungan suaranya jelas memenangkan pasangan tersebut.
Hakim Mahkamah Konstitusi akan memutuskan sengketa Pilpres yang diajukan Prabowo ini pada 28 Juni 2019. MK masih memiliki waktu untuk memutuskan perkara ini termasuk mempertegas ranah kewenangannya dalam menangani sengketa Pilpres.
(Baca: KPU Lampirkan 6 Ribu Bukti untuk Tangkis Gugatan Pilpres Prabowo-Sandi)