BPK Nilai Rekayasa Laporan Keuangan Garuda Masuk Tindakan Pidana
Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi mengungkapkan, pihaknya sudah memeriksa dan melakukan evaluasi terhadap laporan keuangan 2018 PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA). "BPK menemukan sejumlah masalah terhadap laporan keuangan Garuda. Permasalahan itu menjadi salah satu bentuk pidana," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (4/7).
Garuda sebagai perusahaan publik dan tercatat di Bursa Efek Indonesia dilarang merekayasa laporan keuangan. Hal ini yang menurut BPK menjadikan masalah tersebut sudah masuk ke ranah pidana.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, BPK merekomendasikan agar Garuda membatalkan kerja sama anak usahanya, PT Citilink Indonesia, dengan PT Mahata Aero Technology. Selain itu, BPK juga meminta Garuda untuk menyajikan ulang laporan keuangan mereka. "BPK juga merekomendasikan agar Garuda melakukan restatement atas penyajian Laporan Keuangan 2018," kata Achsanul.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebelumnya telah menjatuhkan hukuman denda total Rp 1,25 miliar kepada Garuda beserta jajaran Dewan Komisaris dan Direksi. Sanksi denda tersebut terkait penyajian laporan keuangan 2018 dan kuartal I-2019.
Secara rinci, OJK mengenakan sanksi administratif berupa denda Rp 100 juta kepada Garuda. Sanksi diberikan atas pelanggaran Peraturan OJK Nomor 29 Tahun 2016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
Lalu, OJK menjatuhkan denda masing-masing Rp 100 juta kepada seluruh direksi Garuda yang bertanggung jawab menyajikan laporan keuangan 2018. Pengenaan denda tersebut atas pelanggaran Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.11 tentang Tanggung Jawab Direksi atas laporan Keuangan.
(Baca: Terancam Sanksi KPPU, Dirut Garuda Mundur dari Komisaris Sriwijaya Air)
Adapun, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengenakan sanksi berupa denda senilai Rp 250 juta kepada Garuda. Pelanggaran yang dikenakan BEI ini atas pelanggaran penyajian Laporan Keuangan Perusahaan Kuartal I-2019.
Selain memberikan denda, baik OJK maupun BEI memberikan sanksi yang mewajibkan Garuda menyajikan ulang (restatement) laporan keuangan yang menjadi masalah tersebut.
Tak cukup sampai di situ, Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) Kementerian Keuangan turut menjatuhkan sanksi kepada kantor akuntan publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan (member of BDO International) yang mengaudit laporan keuangan itu.
Sanksinya berupa peringatan tertulis dengan disertai kewajiban untuk melakukan perbaikan terhadap Sistem Pengendalian Mutu KAP dan dilakukan review oleh BDO International Limited. Dasar pengenaan sanksi yaitu UU Nomor 5 tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 154/PMK.01/2017.
Kementerian juga memberikan sanksi pembekuan izin selama 12 bulan terhadap Kasner Sirumapea, auditor laporan keuangan tersebut. Kasner terbukti melakukan pelanggaran berat yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap opini Laporan Auditor Independen (LAI). Pengenaan saksi ini melalui KMK No.312/KM.1/2019 tanggal 27 Juni 2019.
(Baca: Kena Sanksi, Garuda Bantah Laporan Keuangannya Tak Sesuai Prosedur)
Laporan Keuangan Garuda yang Janggal
Kejanggalan laporan keuangan itu awalnya tercium oleh dua Komisaris Garuda, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria (per 24 April 2019, Dony sudah tidak menjabat sebagai Komisaris Garuda). Mereka menyoroti pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan tahun buku 2018.
Mereka menilai, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS). Namun, di dalam laporan keuangan 2018 malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta setara Rp 70,76 miliar.
Keberatan mereka didasarkan pada perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh Citilink dengan Mahata. Menurut mereka, pendapatan dari Mahaka yang sebesar US$ 239,94 juta atau Rp 3,38 triliun tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mengakui adanya kejanggalan dalam kontrak antara Citilink dengan Mahata. Karena itu, Bursa menjadikan kontrak itu sebagai salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, dalam kontrak yang diteken pada Oktober 2018 tersebut diatur bagaimana Mahata wajib memenuhi pembayaran penuh kepada Garuda. Adapun Garuda wajib menerima pembayaran atas hak yang diberikan kepada Mahata untuk pemasangan perangkat. "(Tapi) tidak ada hal yang detail diatur (dalam kontrak), once para pihak tidak menjalankan kewajibannya," kata Nyoman pada pekan lalu.
Nyoman pun mengatakan, jika tidak ada perincian lebih detail mengenai waktu pembayaran, maka bisa saja pembayaran itu dapat dilakukan 15 tahun kemudian. Padahal, nilainya sudah dimasukkan sebagai pendapatan sejak Laporan Keuangan Garuda 2018. "Iya, betul (tidak ada rincian soal pembayaran), itu juga yang sudah kami pertanyakan," katanya.
(Baca: Sentil Laporan Keuangan Garuda Bohong, Luhut: Ada Masalah dari Dulu)