Usai Terkoreksi 6% Karena Isu Pajak, Saham Adaro Kembali Menghijau
Saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) sejak penutupan perdagangan Jumat (5/7) hingga Selasa (9/7) melaju di zona merah dengan terkoreksi hingga 5,98% yakni dari level Rp 1.420 per saham per Kamis (4/5) menjadi Rp 1.335 pada Selasa (9/7).
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji mengatakan, laju negatif harga saham Adaro beberapa hari terakhir tersebut terkait isu penghindaran pajak Adaro ke offshore network. "Otomatis, sepertinya pelaku pasar ada sentimen pemberitaan tersebut," kata Nafan kepada Katadata.co.id, Rabu (10/7).
Namun, anjloknya saham Adaro dalam dua hari tersebut, dinilai Nafan tidak hanya terkait oleh isu-isu miring terkait penghindaran pajak saja. Menurutnya, harga saham Adaro sudah relatif menarik dalam valuasi harga saham yang menarik. Sehingga banyak investor yang mengambil untung (take profit) dari valuasi harga yang menarik tersebut.
Dugaan Penghindaran Pajak Adaro
Seperti diketahui, dalam laporan berujudul Taxing Times for Adaro yang dirilis oleh lembaga non-profit Global Witness, pada periode 2009–2017 Adaro diduga memanfaatkan anak perusahaannya di Singapura, Coaltrade Services International untuk menghindari pajak yang lebih besar di Indonesia melalui skema transfer pricing.
(Baca: 6 Taipan Pembayar Pajak Terbesar: Arifin Panigoro hingga TP Rachmat)
Singapura dikenal memiliki tarif pajak penghasilan yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Namun skema tersebut telah diketahui otoritas pajak sehingga Adaro pun menambah pembayaran pajak hingga US$ 33,2 juta pada 2008 lalu. Namun Coaltrade memiliki pendapatan komisi yang mencapai Rp 4 juta per tahun.
Pada 2009 dan 2017 Coaltrade bahkan memperoleh hampir US$ 55 juta per tahun dari komisi, sehingga total komisinyanya bisa mencapai US$ 490 juta yang diperoleh dari penjualan batu bara di negara yang tarif pajaknya lebih murah. Padahal antara 2009-2017 lebih dari 70% batu bara yang dijual oleh Coaltrade berasal dari anak usaha Adaro di Indonesia.
Melalui entitas anaknya tersebut di Singapura, Adaro 'menghemat' pembayaran pajaknya hingga US$ 125 juta lebih sedikit pajak daripada yang seharusnya disetorkan ke pemerintah Indonesia lantaran tarif pajak di Singapura, menurut laporan Global Witness, hanya 10,7%, jauh di bawah tarif pajak di Indonesia yang mencapai 50,8%.
Saham Adaro Berbalik Naik 0,75% Hari Ini
Ada pun, saham Adaro pada penutupan perdagangan Rabu (10/7) naik 0,75% ke level Rp 1.345 per saham. Secara teknikal, menguatnya saham Adaro memang sudah terprediksi oleh Nafan. "Akumulatif beli pada level Rp 1.320-1.340 per saham, dengan target harga secara bertahap di level Rp 1.360, Rp 1.460, dan Rp 1.560," katanya.
(Baca: Adaro Uji Coba Bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Papua)
Selain itu, menguatnya harga saham Adaro hari ini, juga disebabkan oleh aksi beli setelah dalam tiga hari perdagangan terkoreksi secara berturut-turut. "Kalau terjadi pelemahan selama 3 periode, secara psikologis ada aksi beli. Investor bisa spekulatif beli, sehingga hari ini menguat," kata Nafan.
Sementara, Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan, secara teknikal memang harga saham Adaro dalam dua hari tersebut dalam keadaan tren melemah dengan level support sekitar Rp 1.300 per saham dan level resistance-nya Rp 1.500 per saham.
Ke depan, menurutnya ada dua skenario laju saham Adaro. Yang pertama yaitu bertahan di atas level support Rp 1.300 per saham dan menguji area resistance di level Rp 1.500 per saham. "Kedua, gagal mempertahankan support di level Rp 1.300 per saham dan malah turun ke level Rp 1.200 per saham," katanya.
Penjelasan Adaro kepada Bursa Efek Indonesia
Ada pun, terkait dengan isu penghindaran pajak Adaro, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna menyampaikan, pihak bursa selalu meminta penjelasan kepada perusahaan terkait isu yang beredar. Menurut Nyoman, isu yang beredar di publik maupun pemberitaan mengenai perusahaan, belum tentu benar.
(Baca: Adaro Pastikan PLTU Tanjung Beroperasi Tahun Ini)
Bursa memberikan kesempatan untuk perusahaan melakukan penjelasan agar informasi yang beredar di publik menjadi jelas karena manajemen perusahaan merupakan pihak yang bertanggung jawab. "Yang paling bisa menjelaskan (isu yang beredar) itu adalah pihaknya direksi perseroan," kata Nyoman ketika ditemui di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (10/7).
Terkait isu yang menerpa Adaro, Nyoman menyampaikan, sejauh ini belum ada rencana pihak Bursa untuk melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Masalah koordinasi (dengan DJP), nanti kalau diperlukan," kata Nyoman.
Sementara itu, dalam keterbukaan informasi yang diunggah oleh perusahaan pada Selasa (9/7), pihak Adaro menampik dugaan-dugaan penghindaran pajak tersebut. Dijelaskan, Coaltrade merupakan salah satu perusahaan dalam grup Adaro yang berbasis di Singapura untuk memasarkan batu bara untuk pasar ekspor. Adaro mengklaim, Coaltrade telah patuh pada aturan perpajakan dan royalti yang ditetapkan pemerintah Indoensia.
Eksistensi dan kinerja Coaltrade pun sudah diketahui oleh otoritas perpajakan sejak lama. "Setiap tahunnya, interaksi Coaltrade dengan perusahaan lain dalam grup Perseroan juga diperiksa oleh otoritas perpajakan," seperti dikutip melalui keterbukaan informasi.
(Baca: Tertekan Beban Usaha, Laba Bersih Adaro Turun 13% Jadi US$ 417 Juta)
Sejak 2010 lalu, Adaro pun beberapa kali terpilih sebagai salah satu Wajib Pajak yang menerima apresiasi dan penghargaan atas kontribusinya terhadap penerimaan pajak. Sebagai perusahaan nasional, Adaro berkomitmen untuk berkontribusi bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia melalui pembayaran pajak dan royalti.
"Tahun lalu, Perseroan telah memberikan kontribusi kepada negara senilai total US$ 721 juta (US$ 378 juta dalam bentuk royalti dan US$ 343 juta dalam bentuk pembayaran pajak)," tulis keterbukaan Informasi tersebut.