Naik-Turun Harga Minyak Setiap Terjadi Konflik di Timur Tengah
Pemerintah Iran melancarkan serangan rudal ke pangkalan militer Amerika Serikat di Irak kemarin, Rabu (7/1). Serangan ini hanya beberapa jam usai pemakaman Mayor Jenderal Qassem Soleimani.
Perwira militer senior Iran itu pada akhir pekan lalu tewas dalam serangan udara AS di dekat Bandar Udara Internasional Baghdad, Irak. Iran membalas dengan menembakkan 13 rudal ke pangkalan Al Assad dan Irbil.
Ketegangan hubungan dua negara itu mengguncang pasar komoditas. Harga minyak sempat dibuat naik-turun imbas tensi geopolitik di Timur Tengah yang memanas.
Dilansir dari Bloomberg, harga minyak kemarin untuk West Texas Intermediate kontrak Februari 2020 sempat naik 0,88% menjadi US$ US$ 63,25 per barel. Sedangkan harga minyak jenis Brent untuk kontrak Maret naik 1,19% menjadi US$ 69,08 per barel.
Kemudian kedua harga minyak acuan dunia itu turun. Pada pukul 21.35 WIB harga WTI telah berada di posisi US$ 62,23 per barel. Minyak Brent harganya di US$ 67,98 per barel.
(Baca: Kementerian ESDM Tanggapi Dampak Konflik AS-Iran ke Harga BBM di RI)
Sampai saat ini, menurut laporan New York Times, tidak ada fasilitas minyak terganggu. Belum ada tanda-tanda juga Teheran akan mengacaukan perdagangan emas hitam itu, misalnya dengan menutup Selat Hormuz.
Selat sempit yang memisahkan Iran dengan Uni Emirat Arab tersebut merupakan jalur perlintasan banyak kapal tanker untuk mengirim minyak keluar Teluk Persia. Sebanyak 30% suplai dunia atau sekitar 18 juta barel per hari minyak “mengalir” melewatinya.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam cuitannya mengatakan kondisi AS usai serangan tersebut baik-baik saja. “Sejauh ini kami memiliki militer terkuat dan terlengkap di dunia,” cuit @realDonaldTrump.
Usai melakukan serangan rudal, Iran kembali meminta tentara AS angkat kaki dari Timur Tengah. “Sekarang mereka sudah mengetahui kekuatan kami,” kata panglima militer Iran, Mohammad Bagheri dilansir dari Reuters.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta tidak ada kehebohan meski harga minyak dunia melonjak. "Enggak apa-apa. Semua itu hidup, pasti ada naik turun, jangan terlalu heboh," katanya.
(Baca: Konflik Iran-AS Kian Memuncak, IHSG dan Bursa Asia Berguguran)
Pergerakan Harga Minyak Pasca Perang Dunia II
Data dari Oilprice.com menunjukkan, setidaknya ada delapan peristiwa besar yang mengakibatkan gejolak harga minyak pasca Perang Dunia II. Delapan peristiwa itu adalah Krisis Suez (1956), Krisis Minyak 1973, Revolusi Iran (1970-1980), Perang Irak versus Iran (1980-1988), Perang Teluk (1990-1991), Krisis Ekonomi Asia (1997), Perang Irak (2003-2011), dan Arab Spring (2010-2012).
Krisis Minyak 1973 terjadi setelah negara-negara Arab sepakat melakukan embargo untuk negara-negara pendukung Israel, termasu AS. Dampaknya, harga minyak langsung naik empat kali lipat dalam dua tahun. Pada 1972 angkanya di US$ 3 per barel. Lalu, nilai itu melonjak jadi US$ 12 per barel pada akhir 1974.
Pada masa revolusi Iran, negara itu sempat memangkas habis produksi minyaknya. Begitu pula ketika terjadi perang Irak vs Iran. Harga minyak menyentuh rekor tertinggi menjadi US$ 36,83 per barel. Namun, angkanya langsung turun karena Uni Soviet menjadi produsen minyak terbesar dunia pada 1988.
Ketika Irak menginvasi Kuwait pada 1990, kemudian memicu Perang Teluk, harga minyak juga naik. Dari US$ 14,98 per barel sebelum perang menjadi US$ 41 per barel pada September 1991.
(Baca: Manfaatkan Konflik AS-Iran, Analis Rekomendasikan Saham Emiten Emas)
Harga minyak langsung jatuh ketika Uni Soviet bubar, lalu terjadi krisis ekonomi di Asia. Krisis ini terjadi pula di Indonesia. Konsumsi minyak dunia terpangkas. Namun, memasuki abad ke-21, harga minyak perlahan naik.
Invasi AS ke Irak pada 2003 memicu ketidakstabilan suplai minyak. Padahal, di saat yang sama Asia, terutama Tiongkok, ekonominya sedang bergerak naik. Permintaan minyak kala itu sangat tinggi. Harganya naik dari US$ 28,38 per barel pada Juli 2000 menjadi US$ 146,02 per barel pada Juli 2008.
Dari situ, harga minyak turun lagi karena krisis keuangan global pada 2008. Namun, angkanya naik lagi ketika terjadi musim semi di Arab alias Arab Spring pada 2011. Harganya tembus US$ 126,48 per barel.
Eskalasi ketegangan hubungan AS dan Iran saat ini, menurut para analis, tidak terlalu berdampak signifikan. Pasalnya, AS sedang menikmati tingginya produksi minyak bumi. Bahkan negara itu sekarang menjadi produsen minyak terbesar di dunia.
Produksinya mencapai 13 juta barel per hari atau naik dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. New York Times menulis impor minyak AS turun empat juta barel per hari dibandingkan 2008.
Di sisi lain, permintaan minyak pun sedang turun karena konsumen mulai beralih ke energi ramah lingkungan. “Banyak investor yang enggan menanamkan uangnya di industri minyak bumi,” ujar Gary Ross, Chief Executive Black Gold Investors.
Pasar sedang terbiasa dengan surplus produksi minyak di pasar global. Akibatnya, mereka menjadi tidak terlalu khawatir dengan tensi di Teluk Persia. “Minyak telah menjadi barometer rusak untuk mengukur ketegangan di Timur Tengah,” ucap Helima Croft, kepala strategi komoditas global RBC Capital Markets. “Sekarang (minyak) hanya bereaksi kalau terjadi kejadian seismik.”
Namun, tetap saja kenaikan harga bisa terjadi kalau ketegangan kedua negara menyebabkan kerusakan fasilitas produksi minyak. Berkurangnya setengah produksi minyak di Irak, misalnya, berarti mengurangi 4% suplai dunia. Harga minyak bisa naik US$ 90 per barel. Irak saat ini merupakan produsen terbesar kedua di OPEC.
(Baca: Bos Chevron: Pasokan Minyak Dunia Aman Biarpun Konflik AS-Iran Memanas)