Kementerian ESDM Respons Dampak Konflik AS-Iran terhadap Harga BBM
Harga minyak dunia terus meningkat di tengah konflik antara Amerika Serikat (AS) dan Iran. Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto tidak berkomentar perihal dampak konflik tersebut terhadap harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia.
Ia hanya menjelaskan bahwa pemerintah telah menetapkan subsidi solar tahun ini tetap Rp 1.000 per liter. “Mau harga minyak ‘selangit’, subsidinya tetap Rp 1.000,” kata Djoko di kantornya, Jakarta, hari ini (8/1).
Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, subsidi BBM sebesar Rp 19,9 triliun. Angka itu turun dibanding proyeksi tahun lalu Rp 32,3 triliun. Besaran subsidi itu dengan asumsi harga minyak US$ 63 per barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.400 per dolar AS.
(Baca: Konflik AS-Iran, Ekonom Lihat Potensi Harga Minyak Capai US$ 100/Barel)
Sedangkan data Bloomberg pada pukul 15.39 WIB hari ini (8/1), harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Februari 2020 naik 0,88% menjadi US$ 63,25 per barel. Harga minyak jenis Brent untuk kontrak Maret naik 1,19% menjadi US$ 69,08 per barel.
Harga minyak WTI bahkan sempat menyentuh level tertinggi sejak April tahun lalu, yakni US$ 65,85. Harga Brent juga sempat meroket hingga US$ 70,10 per barel, tertinggi sejak pertengahan September 2019.
Hanya, Djoko tidak berkomentar perihal kemungkinan perubahan subsidi BBM. Dia juga enggan menjelaskan ada tidaknya pembahasan mengenai kenaikan harga minyak dunia dan dampaknya terhadap BBM di Tanah Air.
(Baca: BPH Migas Proyeksi Solar Subsidi Kelebihan Kuota 700 Ribu KL pada 2020)
Di satu sisi, Indonesia masih mengimpor minyak dan gas (migas). Data Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas secara kumulatif sepanjang Januari-November 2019 mencapai US$ 19,75 miliar atau turun 29,06% secara tahunan (year on year/yoy).
“Ya harga minyak dunia pernah di atas US$ 100 saja tidak masalah,” kata Djoko.
Harga minyak dunia terus melonjak setelah Iran menyerang pangkalan militer AS di Irak. Hal itu merupakan balasan dari serangan udara AS yang menewaskan Jenderal Qassem Soleimani pada akhir pekan lalu (3/1).
(Baca: Bahan Bakar Mahal, Nelayan Pantura Sulit Mencari Ikan ke Laut Natuna)
Meski begitu, Pertamina berusaha menekan impor migas dengan cara membeli minyak mentah domestik. Hingga Juni 2019, Pertamina menyerap 116,9 ribu barel per hari (BPOD) minyak mentah dari 37 kontraktor migas Indonesia. Jumlah tersebut delapan kali lebih besar dari pembelian 2018, 12,8 ribu BOPD.
Dengan cara itu, volume impor minyak mentah Pertamina berhasil ditekan. Dalam kurun waktu 2016 hingga 2018, impor minyak mentah Pertamina turun dari 149 juta barel menjadi 113 juta barel. Dalam Rancangan Keuangan dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2019, Pertamina memproyeksi impor minyak mentah hanya 190 ribu BOPD, lebih rendah dari 2018 sebesar 339 ribu BOPD.
Biarpun begitu, impor produk BBM Pertamina tetap tinggi. Sebab, impor produk BBM pada 2016 sebesar 117 juta barel lalu naik menjadi 145 juta barel setahun kemudian.
(Baca: Pertamina Tambah Impor Minyak Mentah dari AS 4,75 Juta Barel pada 2020)