Pro-Kontra Usul DPR Bubarkan OJK
Kasus gagal bayar premi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) membuat Komisi XI DPR berencana mengevaluasi Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan. Tak hanya itu, anggota dewan juga membuka peluang agar OJK dibubarkan.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Eriko Sotarduga mengatakan evaluasi juga mencakup UU Bank Indonesia. Kedua aturan tersebut akan dibahas dalam panitia kerja atau panja pengawasan industri jasa keuangan.
Ketentuan yang mengatur bank sentral adalah UU Nomor 3 Tentang 2004 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sementara ketentuan OJK ada di UU Nomor 21 Tahun 2011.
DPR menduga terjadi pembiaran masalah tata kelola dan investasi jeblok di Jiwasraya. Apalagi, masalah ini diduga sudah terjadi sejak 2006. “Ada yang bilang sejak 1998, ada yang bilang 2006. Kami ingin jangan sampai ada pembiaran dan jadi pelajaran ke depan,” kata Eriko pada Selasa (21/1), seperti dikutip dari Antara.
(Baca: Wacana Pembubaran OJK, Pengamat Asuransi Minta Evaluasi Total)
Jiwasraya saat ini tidak dapat membayar klaim polis yang jatuh tempo pada periode Oktober-November 2019 sebesar Rp 12,4 triliun. Angka ini meningkat dari awal mula kegagalan perusahaan membayar klaim polis JS Saving Plan pada Oktober 2018 sebesar Rp 802 miliar.
Selain salah membentuk harga produk yang memberikan hasil investasi di atas harga pasar, Kejaksaan Agung menemukan BUMN asuransi ini memilih investasi dengan risiko tinggi demi mencapai keuntungan besar.
Kejaksaan telah menetapkan lima orang menjadi tersangka. Kerugian negara akibat dugaan korupsi pengelolaan dana investasi Jiwasraya diperkirakan mencapai Rp 13,7 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan juga menyebut perusahaan asuransi itu melakukan rekayasa keuangan sejak 2006.
Tak hanya Jiwasraya, perusahaan asuransi lainnya pun mengalami masalah likuiditas dan permodalan. Perusahaan itu adalah AJB Bumiputera 1912 dan PT Asabri (Persero).
(Baca: Otoritas Bursa Suspensi Lima Saham terkait Kasus Jiwasraya dan Asabri)
Sejarah Berdirinya OJK
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani tak sepakat dengan rencana pembubaran OJK. “Ini berbahaya untuk kepercayaan investor karena seolah-olah terhadap kelembagaan negara itu tidak ada kepercayaan jangka panjang,” katanya.
Kinerja OJK yang belum optimal seharusnya direspon dengan melakukan penguatan dan perbaikan sistem pengawasan. “Kalau ada masalah, jangan dapurnya yang dibakar. MIsalnya, non-bank banyak masalah, jadi harus diperbaiki sistem pengawasan OJK,” ucap Aviliani.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mendukung wacana pembubaran OJK. Ini lantaran manfaat instansi tersebut dianggap minim. Dasarnya, literasi asuransi tidak bertambah baik, sedangkan penetrasi asuransi stagnan. Selain itu, pengawasan yang dinilai tak optimal.
Ia tak setuju bila disebut bahwa kinerja OJK tak optimal karena tugasnya terlalu berat yaitu mengawasi industri jasa keuangan secara luas. "Tidak ada alasan terlalu berat. Anggaran OJK besar. SDM mereka bisa rekrut setiap saat," kata dia kepada Katadata.co.id.
(Baca: Kejaksaan Sebut Tersangka Jiwasraya Sembunyikan Aset di Luar Negeri)
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menilai masalah yang terjadi di industri jasa keuangan saat ini telah terjadi jauh-jauh hari. Bahkan sebelum ia memimpin lembaga tersebut.
Ia tak ingin berpolemik mengenai wacana pembubaran OJK. “Kami bekerja profesional dan independen. Masalah ini sudah terjadi cukup lama,” ucap Wimboh.
Pembentukan OJK merupakan bagian upaya pemerintah dan DPR dalam melakukan reformasi keuangan. Kedua pihak sepakat membentuk lembaga tersebut dengan keluarnya UU Nomor 21 Tahun 2011. Ketika itu baru saja terjadi krisis keuangan global dan kasus Bank Century.
Namun, sebenarnya keinginan pembentukan OJK sudah ada sejak 1999, tepatnya ketika krisis moneter terjadi di negara ini. Mengutip dari Kontan.co.id, gagasan pembentukan otoritas yang independen itu menjadi perintah UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Di dalam salah satu beleid menyebutkan UU OJK paling lambat harus lahir pada 31 Desember 2002.
Pada 2013, akhirnya wasit baru industri keuangan ini muncul. OJK mengambil alih kewenangan dua regulator sebelumnya, yaitu BI dan Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan).
OJK tak hanya mengatur dan mengawasi pasar modal serta lembaga keuangan. Lembaga ini juga melakukan pengaturan dan pengawasan bank, serta melindungi konsumen jasa keuangan.
(Baca: Kejaksaan Agung Sita 1.400 Sertifikat Tanah Milik Tersangka Jiwasraya)