BPK Temukan Masalah dalam Pengelolaan Utang Pemerintah
Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa kinerja efektivitas pengelolaan utang pemerintah pusat. Hasilnya, BPK menilai pengelolaan utang tersebut kurang efektif.
Hasil pemeriksaan ini mengungkapkan 10 temuan yang memuat 10 permasalahan ketidakefektifan. Pemeriksaan dilaksanakan pada Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan instansi terkait lainnya.
"BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali, serta kesinambungan fiskal," tulis Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2019 seperti dikutip Katadata.co.id, Rabu (6/5).
Terdapat beberapa alasan yang cukup signifikan terkait penilaian BPK tersebut. Pertama, strategi pengembangan pasar surat berharga negara domestik belum efektif mendukung pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Dampaknya, imbal hasil atau yield obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer.
Kedua, pengelolaan utang pemerintah pusat belum didukung oleh peraturan manajemen risiko keuangan negara dan penerapan analisis fiskal yang berkelanjutan, termasuk utang yang berkelanjutan secara komprehensi. Dengan demikian, utang pemerintah saat ini berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsungan fiskal di masa mendatang.
(Baca: BI Tak Akan Jor-joran Cetak Uang untuk Dana Penanganan Covid-19)
Ketiga, pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaian. Ini berpotensi mempengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang.
Keempat, terdapat kebijakan penambahan yield atas penerbitan surat berharga syariah negara melalui private placement yang tidak memiliki dasar perhitungan.
Kelima, project underlying SBSN menggunakan akun belanja barang yang diserahkan kepada masyarakat, tidak mencantumkan jenis dan lokasi proyek, serta belum memiliki pengendalian yang memadai atas risiko double underlying.
Maka dari itu, menurut BPK, pengelolaan utang pemerintah berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsungan fiskal di masa mendatang.
BPK pun telah memberikan beberapa rekomendasi kepada Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas. Rekomendasi tersebut yakni menjalin kerja sama lebih erat dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Masing-masing instansi dapat menetapkan pembagian tugas dan wewenang guna membuat kebijakan pengembangan pasar SBN dan turunan kebijakannya yang jelas, serta indikator pengukuran kinerjanya.
(Baca: BPK Temukan Pengelolaan Uang Negara Rp 7,6 Triliun Bermasalah)
Pemerintah disarankan pula untuk menyusun kerangka kerja mengenai manajemen risiko keuangan negara dan menetapkan peraturan jika diperlukan. Lalu. menyampaikan FSA dan DSA dalam kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal dan nota keuangan serta menerbitkan long-term fiscal sustainability report secara periodik.
Selanjutnya, menyusun kerangka kerja, parameter, dan indikator pembiayaan yang selaras dengan kebijakan belanja berkualitas. Hal ini guna mewujudkan pemanfaatan utang secara optimal untuk kegiatan produktif, dan menetapkan peraturan jika diperlukan.
Pemerintah juga diminta menyempurnakan kebijakan penetapan rekomendasi benchmark yield atau owner’s estimate dan penetapan seri SBSN yang diterbitkan melalui private placement. Terakhir, pemerintah perlu menetapkan kebijakan monitoring atas pelaksanaan kegiatan yang menjadi project underlying SBSN.
Kementerian Keuangan sebelumnya mencatat, total utang pemerintah per Maret 2020 mencapai Rp 5.192,56 triliun, bertambah lebih dari Rp 400 triliun dari posisi akhir tahun lalu Rp 4.779,28 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto bahkan mencapai 32,12%.
Sementara Bank Dunia memproyeksikan rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto sepanjang tahun ini akan membengkak dari 28% pada tahun lalu menjadi 31,4%. Rasio utang pemerintah juga akan terus meningkat pada 2021 dan 2022 seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.