Ancaman Gelombang Kedua Virus Corona dari Pelonggaran Lockdown & PSBB
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan potensi gelombang kedua virus corona seiring dengan pelonggaran karantina untuk memulihkan perekonomian. Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan bahwa beberapa negara telah mengkonfirmasi kasus baru Covid-19 usai melonggarkan lockdown.
“Di Korea Selatan, bar dan klub ditutup kembali setelah ada kasus baru mengarah pada kontak yang terlacak di sana. Di Wuhan, Tiongkok, kelompok kasus pertama sejak lockdown diangkat telah teridentifikasi. Jerman juga telah melaporkan peningkatan kasus sejak pelonggaran karantina,” katanya pada Senin (11/5) lalu, dikutip dari CNBC.
Negeri Ginseng sendiri melonggarkan karantina setelah kebijakan tersebut terbukti mengurangi jumlah kasus dan nyaris menghentikan penularan lokal. Namun, Presiden Korea Selatan Mon Jae pada Selasa (12/5) lalu mempertimbangkan untuk kembali menerapkan karantina setelah kemunculan klaster baru Covid-19.
(Baca: Daftar 8 Kandidat Utama Vaksin Corona Menurut WHO)
Korea Selatan memulai pembatasan sejak awal Maret dan dilonggarkan pada 6 Mei lalu. Menurut laman statistik Worldometers, virus corona telah menginfeksi 10.962 orang di negara tersebut dengan penambahan 26 kasus baru pada Rabu (13/5).
Sedangkan Tiongkok, dua wilayah yakni Wuhan dan Shulan juga telah memberlakukan kembali karantina sejak Senin lalu. Tiongkok menerapkan lockdown pada 23 Januari dan melonggarkannya pada 8 April lalu. Sebanyak 82.926 orang di negara tersebut telah terinfeksi Covid-19, dengan tambahan tujuh kasus baru pada hari ini.
Ada pun Jerman, yang melonggarkan lockdown pada 4 Mei lalu, dalam dua hari terakhir mendapati peningkatan angka reproduksi kasus virus coronanya hingga melebihi satu. Itu artinya, satu orang terinfeksi virus corona dapat menularkan ke lebih dari satu orang.
Padahal, lockdown Jerman yang dimulai pada 23 Maret behasil menekan angka reproduksi Covid-19 menjadi 0,65 dengan didorong oleh pengujian masif. Virus corona telah menginfeksi 173.171 orang di negara tersebut, tanpa adanya tambahan kasus baru hari ini.
Tedros menambahkan, ketiga negara tersebut juga telah memperluas pengujian cepat dan pelacakan kontak untuk mengantisipasi datangnya gelombang kedua infeksi Covid-19. Ia pun mengimbau negara-negara lain yang berencana membuka kembali bisnisnya, agar lebih berhati-hati dalam mengatur kebijakan pembatasan.
Menurut Tedros, sebelum negara-negara di seluruh dunia melonggarkan karantina, pandemi virus corona harus dipastikan dalam kondisi terkendali terlebih dahulu, dalam artian sistem kesehatan global telah mampu mengatasi potensi kebangkitan virus corona.
“Banyak yang telah menggunakan waktu untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menguji, melacak, mengisolasi dan merawat pasien, yang merupakan cara terbaik untuk melacak virus, memperlambat penyebaran, dan menghilangkan tekanan dari sistem kesehatan,” lanjut Tedros.
(Baca: WHO: Uji Coba Pengobatan Virus Corona Menunjukkan Data yang Positif)
Sejalan dengan Tedros, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO Dr. Mike Ryan meminta negara-negara lain untuk meningkatkan kewaspadaan dengan meniru inisiatif ketiga negara tadi dalam menyikapi kedatangan baru kasus Covid-19. “Sangat penting bagi kami untuk mengangkat contoh negara-negara yang bersedia untuk membuka mata mereka,” katanya, mengutip New York Times.
Mike juga memberikan imbauan kepada negara-negara lain yang rentan untuk segera meningkatkan infrastruktur pengawasan kesehatan yang diperlukan bagi masyarakat. “Agar setidaknya memiliki kesempatan untuk menghindari gelombang kedua yang lebih besar nanti,” terang Mike.
Risiko Indonesia
Ketakutan akan gelombang kedua virus corona juga menimpa di Indonesia, setelah pemerintah berencana melonggarkan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) yang hingga saat ini tengah diberlakukan di empat provinsi dan 72 Kabupaten/Kota.
(Baca: Rekor Lonjakan 689 Kasus, Positif Corona RI Capai 15.438 Orang)
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan, relaksasi PSBB diperlukan agar perekonomian tetap berjalan. Ia menilai, ketatnya kebijakan PSBB di sejumlah wilayah selama ini membuat masyarakat kesulitan mencari nafkah.
“Orang mau bergerak ke sana tidak bisa, mau mencari uang tidak bisa, mau ini tidak bisa, tapi di tempat lain ada orang yang melanggar dengan begitu mudahnya," kata Mahfud, dalam rilisnya pada Senin (4/5) lalu.
Presiden Joko Widodo pun menyinggung kembali wacana relaksasi PSBB saat memimpin rapat kabinet pada Selasa (12/5) lalu. Kala itu, ia meminta agar rencana tersebut dipertimbangkan secara cermat dan tidak tergesa-gesa, didasarkan pada data-data di lapangan. “Hati-hati mengenai pelonggaran PSBB,” katanya.
Di tengah perkembangan kasus infeksi Covid-19 di tanah air, rencana relaksasi PSBB pun menuai kritik. "Atas relaksasi wacana pelonggaran PSBB, kami sangat sedih karena kami melihat angka kasus masih terus naik," kata inisiator Koalisi Warga untuk LaporCovid19 Irma Hidayana, pada Senin (11/5) lalu.
Epidemiolog dari Universitas Padjajaran Panji Fortuna Hadisoemarto juga menyarankan normalisasi aktivitas masyarakat di DKI Jakarta dilakukan ketika ibu kota hanya memiliki 10 penambahan kasus baru per hari.
Selain itu, menurutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan faktor lain, seperti angka rasio tes virus corona yang begitu rendah, serta populasi orang tanpa gejala (OTG). “Jadi sangat berisiko untuk kembali ke aktivitas normal,” ujar Panji.
Kasus virus corona di dalam negeri pun terus meningkat. Data terbaru hingga Selasa (12/5), Covid-19 telah menginfeksi 14.749 orang di Indonesia, dengan angka kematian mencapai 1.007 kasus dan sebanyak 3.063 pasien telah sembuh.
Reporter: Nobertus Mario Baskoro