Pemerintah Prediksi Tren Penurunan Penerimaan Pajak Terus Berlanjut
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak Januari-April 2020 sebesar Rp 376,7 triliun. Realisasi penerimaan ini terkontraksi 3,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memperkirakan, pelemahan penerimaan pajak berpotensi masih akan berlangsung. Pasalnya, kegiatan ekonomi yang rendah di tengah pandemi membuat kemampuan pengumpulan pajak berkurang.
"Sehingga ada kemungkinan bulan depan masih akan melemah lagi," kata Suahasil Nazara dalam konferensi video, Rabu (20/5).
Dari total penerimaan pajak, realisasi PPh minyak dan gas (migas) mengalami kontraksi paling dalam, yakni 32,3%, sebesar Rp 15 triliun. Rendahnya realisasi PPh migas utamanya disebabkan karena penurunan harga migas yang cukup dalam pada April 2020.
Sementara, realisasi pajak non-migas tercatat sebesar Rp 361,7 triliun per 30 April 2020, turun 1,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dalam komponen pajak non-migas, PPh non-migas dan pajak lainnya tercatat mengalami kontraksi, masing-masing sebesar 3,2% dan 0,2%.
Meski demikian, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masih bisa tumbuh 1,9% dan 40,1%. Realisasi dua pajak ini masing-masing sebesar Rp 132,8 triliun dan Rp 400 miliar.
(Baca: Penerimaan Pajak Terpukul Pandemi, Defisit APBN hingga April Rp 74,5 T)
Jika dilihat dari jenisnya, PPh Badan mencatatkan kontraksi terdalam yakni 15,23% menjadi Rp 80,8 triliun. Penurunan disebabkan oleh perlambatan ekonomi yang telihat dari kontraski setoran masa pajak sebesar 2,2%. Kemudian, setoran tahunan juga tercatat turun 16,18%.
Kemudian, PPh 22 Impor juga mengalami kontraksi yang cukup dalam yakni 13,37% menjadi Rp 16,2 triliun. Adapun, penerimaan PPN Impor juga turun 8,9% menjadi Rp 51,41 triliun. Penurunan terjadi karena sepanjang kuartal I 2020 aktivitas impor minus 2,19%.
Lalu, PPh Orang pribadi (OP) mengalami kontraksi tipis 0,13%, akibat perlambatan ekonomi. Hal ini terlihat dari perlambatan setoran masa, yang hanya tumbuh 1,43% dan kontraksi setoran tahunan 0,63%. Suahasil mengungkapkan, hal tersebut karena adanya pengunduran jadwal pelaporan SPT tahunan.
Meski terdapat empat jenis pajak yang terkontraksi, masih ada beberapa jenis yang tumbuh walaupun melambat. Contohnya, PPh 26 yang mampu tumbuh 28,14% menjadi Rp 14,2 triliun. Kemudian, PPh Final tercatat tumbuh 7,22% menjadi Rp 38,91 triliun.
Suahasil menyebut, pertumbuhan dua jenis pajak ini disebabkan adanya restitusi besar pada kuartal I 2019, atau hasil banding yang tidak terulang di tahun ini.
Selanjutnya, PPh Dalam Negeri (DN) berhasil tumbuh 10,09% menjadi Rp 76,93 triliun, disebabkan penyerahan PPN DN hingga Februari 2020 masih cukup bagus. Terakhir, PPh 21 tercatat tumbuh 4,12% menjadi Rp 48,38 triliun.
(Baca: Sri Mulyani Tarik Pajak Netflix, Spotify hingga Game Online Mulai Juli)
Sementara, jika dilihat dari sektor usahanya, penerimaan pajak dari sektor pertambangan mengalami kontraksi paling dalam, yakni 27,55% menjadi Rp 16,46 triliun. Suahasil menyebut, sektor pertambangan terkontraksi sejak tahun lalu.
Kontraksi penerimaan pajak juga terlihat pada sektor perdagangan serta kontruski dan real estat, yang masing-masing turun 4,83% dan 4,61%. Perlambatan di dua sektor ini, disebabkan adanya penurunan kegiatan perdagangan, terutama impor dan perlambatan penjualan properti tahun ini.
Kontraksi penerimaan pajak juga dialami sektor transportasi dan pergudangan, dengan penurunan masing-masing sebesar 2,95% dan 16,97%.
Namun, penerimaan pajak sektor industri pengolahan, serta sektor jasa keuangan dan asuransi tercatat masih mampu tumbuh. Realisasi pajak dari sektor pengolahan tercatat tumbuh 4,68% menjadi Rp 108,46 triliun. Sementara, penerimaan pajak sektor keuangan dan asuransi tumbuh 8,16% menjadi Rp 57,88 triliun.
"Penerimaan pajak dari sektor jasa keuangan dan asuransi masih bagus, karena sektor ini masih terus beroperasi hingga saat ini," ujarnya.
(Baca: Kurs Pajak 20 Mei-2 Juni, Rupiah Kembali Ditetapkan Menguat)