Rugi Rp 38 T, PLN Tagih Utangnya ke Pemerintah Agar Tetap Beroperasi
PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN berharap pemerintah membayar utang sebesar Rp 48 triliun pada tahun ini. Dana tersebut bakal digunakan untuk menjaga keberlangsungan operasional perusahaan.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menjelaskan nilai utang pemerintah kepada PLN terdiri dari kompensasi pada 2018 sebesar Rp 23 triliun, kompensasi tahun lalu sebesar Rp 22 triliun, dan tambahan subsidi Rp 3 triliun untuk program diskon tarif rumah tangga tahun ini.
"Dengan masuknya dana tersebut, operasional PLN akan aman. Sehingga kami tetap memberikan pelayanan yang berkualitas," ujar Zulkifli dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI, Kamis (25/6).
Dirinya juga menyampaikan mengenai revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2020 sebesar Rp 62,82 triliun yang mencakup subsidi listrik dan program stimulus. Adapun pencairan dana tersebut sampai dengan Juni 2020 sebesar Rp 15 triliun dan sisa pagu subsidi listrik sebesar Rp 39 triliun.
Berikutnya, ada tagihan subsidi Mei 2020 sebesar Rp 4,8 triliun. Selain itu, ada realisasi diskon tarif rumah tangga sampai Juni 2020 Rp 3,1 triliun yang dalam proses verifikasi dan pencairan.
(Baca: PLN Rugi Rp 38 T di Kuartal I Akibat Beban Pembelian Listrik Swasta)
Lebih lanjut, Zulkifli menjelaskan mengenai kondisi keuangan PLN yang mengalami rugi sebesar Rp 38,87 triliun pada triwulan I 2020. Hal itu disebabkan oleh rugi kurs yang terjadi pada awal tahun ini.
"Kerugian yang tercatat laporan triwulan I 2020 merupakan kerugian yang sifatnya rugi kurs dan merupakan transalation loss yang unrealized karena ada perbedaan kurs dolar," ujarnya.
Hal tersebut sekaligus menjawab pertanyaan dari Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima yang ingin mengetahui secara jelas kondisi keuangan perusahaan setrum pelat merah tersebut. "Kami dapat dari media, kerugian Rp 38 triliun. Bagaimana penjelasannya? Kami ingin dapat laporan langsung," ujar Aria.
Berdasarkan laporan keuangan, PLN mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 38,87 triliun pada kuartal I 2020, berbalik dari laba bersih Rp 4,14 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Selain itu, perusahaan membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 72,7 triliun pada kuartal I 2020, naik 5,5% dibandingkan kuartal I 2019 sebesar Rp 68,91 triliun.
Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, mayoritas pendapatan usaha PLN disokong oleh penjualan tenaga listrik yang mencapai Rp 70,24 triliun. Jumlah tersebut naik 5% secara tahunan dari sebelumnya Rp 66,84 triliun.
Kontribusi penjualan paling besar dibukukan penjualan listrik ke masyarakat umum dengan nilai mencapai Rp 65,48 triliun, naik hingga 5,1% secara tahunan dari Rp 62,27 triliun. Penjualan berikutnya disumbang dari lembaga dan kementerian yang nilainya mencapai Rp 3,03 triliun, tumbuh 5% secara tahunan dari Rp 2,89 triliun.
(Baca: PLN Terancam Rugi Besar, Pemerintah Kaji Lagi Subsidi Listrik Industri)
Meski pendapatan naik, jumlah beban usaha PLN membengkak signifikan, bahkan lebih besar dari capaian pendapatan. Beban usaha perusahaan pada tiga bulan pertama tahun ini tercatat sebesar Rp 78,8 triliun, naik 7% dibandingkan kuartal I 2019 yang sebesar Rp 73,63 triliun.
Kenaikan beban usaha PLN tersebut salah satunya karena naiknya pembelian tenaga listrik oleh PLN dari perusahaan produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP). Pembeliannya tercatat mencapai Rp 25,83 triliun, naik 29,4% secara tahunan dari kuartal I 2019 yang sebesar Rp 19,95 triliun.
Kenaikan paling tinggi terjadi pada pos pembelian listrik dari PT Sumber Segara Primadaya, yang naik hingga 124% menjadi Rp 3,43 triliun. Selain itu, PLN juga membeli listrik dari PT Shenhua Guohua PJBI senilai Rp 1,38 triliun, di mana pada periode yang sama tahun lalu PLN belum membeli listrik dari perusahaan tersebut.
Padahal, beban usaha PLN dari pembelian bahan bakar dan pelumas tercatat turun 6,8% secara tahunan menjadi Rp 30,72 triliun dari Rp 32,95 triliun. Beban dari pembelian bahan bakar minyak (BBM) turun paling besar 20,7% menjadi Rp 4,9 triliun.
Lalu beban dari gas alam turun 3,4% menjadi Rp 13,11 triliun. Begitu pula dari batu bara turun 4,2% menjadi Rp 11,7 triliun. Akibat beban yang naik tinggi tersebut, PLN harus mengalami rugi usaha sebelum subsidi dan pendapatan kompensasi dari pemerintah pada kuartal I 2020.
Nilai kerugian usaha ini mencapai Rp 6,09 triliun, lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan rugi Rp 4,71 triliun. Selain itu, penyebab PLN mengalami kerugian pada periode tiga bulan pertama tahun ini yang berasal dari beban lain-lain yang melonjak tinggi menjadi Rp 1,73 triliun. Padahal tahun lalu, beban lain-lain ini hanya senilai Rp 137,39 miliar.
Selain itu, perusahaan juga mengalami kerugian akibat kurs mata uang asing dengan nilai bersih mencapai Rp 51,97 triliun pada periode kuartal I 2020. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, PLN berhasil mengantongi keuntungan dari nilai kurs mata uang asing ini senilai Rp 4 triliun.
Berbagai kenaikan beban ini mengikis capaian pendapatan PLN sehingga menyebabkan perusahaan setrum pelat merah ini mencatatkan rugi bersih, berbalik dari posisi sebelumnya yang mampu mengantongi laba bersih. Catatan lain pada laporan keuangan perusahaan yaitu jumlah aset perusahaan pada kuartal I 2020 senilai Rp 1.589 triliun, naik dibandingkan dengan aset per akhir Desember 2019 yang senilai Rp 1.585 triliun.
Aset tidak lancar PLN periode ini senilai Rp 1.453 triliun, sedangkan aset lancarnya senilai Rp 136,08 triliun. Sementara itu, jumlah liabilitas perusahaan listrik pelat merah ini senilai Rp 694,79 triliun, naik dibandingkan liabilitas per akhir tahun lalu yang senilai Rp 655,67 triliun. Liabilitas jangka panjang PLN pada triwulan I-2020 senilai Rp 537 triliun, sedangkan liabilitas jangka pendek Rp 157,79 triliun.