BI Ramal Kinerja Manufaktur Kuartal III Membaik Meski Masih Kontraksi
Bank Indonesia mencatat indeks manufaktur atau prompt manufacturing indeks pada kuartal II 2020 sebesar 28,55%, menurun dari 45,64% pada kuartal I 2020. Sementara pada kuartal III, indeks manufaktur diperkirakan membaik meski masih dalam fase kontraksi.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Onny Widjanarko menyebut kontraksi terjadi pada seluruh komponen pembentuk PMI. Penurunan PMI tersebut terutama disebabkan oleh penurunan aktivitas produksi dan distribusi akibat pandemi Covid-19.
"Kontraksi terdalam terjadi pada komponen volume produksi sejalan dengan menurunnya permintaan sebagai dampak pandemi Covid-19," tulis Onny dalam keterangan resminya, Senin (13/7).
Adapun volume produksi terkontraksi cukup dalam dengan indeks sebesar 25,36%, terendah selama tiga tahun terakhir. Responden menyatakan bahwa kondisi tersebut masih dipengaruhi oleh penurunan permintaan dan gangguan distribusi akibat pandemi Covid-19.
Kendati demikian, volume produksi pada kuartal III diperkirakan membaik meski masih dalam fase kontraksi sebesar 47,98%. Ini seiring dengan perbaikan pada volume pesanan barang input.
(Baca: Dampak Pandemi, Pertumbuhan Industri Makanan Minuman Tak Capai Target)
Indikator pembentuk PMI lainnya, volume pesanan barang input, juga menunjukkan kontraksi yang semakin dalam, dengan indeks sebesar 28,95%, lebih rendah dari 47,28% pada kuartal sebelumnya. Padahal sejak tahun 2018, indikator ini terus berada pada fase ekspansi.
Menurunnya volume pesanan barang input tersebut sejalan dengan penurunan kegiatan produksi akibat pandemi. Responden memperkirakan, volume pesanan barang input akan membaik pada kuartal III meski masih terkontraksi dengan perkiraan indeks sebesar 48,27%. Komponen ini akan menjadi salah pendorong PMI ke depan.
Sejalan dengan menurunnya volume pesanan barang input dan volume produksi, volume persediaan barang jadi juga menunjukkan penurunan dengan indeks 32,28% pada kuartal II dari 46,69% pada kuartal I. Komponen volume persediaan barang jadi juga diperkirakan membaik pada kuartal III meski masih terkontraksi dengan indeks 47,95%, seiring dengan meningkatnya volume pesanan barang input dan volume produksi.
Sementara itu, indeks penggunaan jumlah tenaga kerja tercatat tetap berada pada fase kontraksi sebesar 31,84%, lebih rendah dibandingkan 47,63% pada kuartal sebelumnya. Kendati demikian, penggunaan tenaga kerja sektor industri pengolahan diperkirakan meningkat sejalan dengan peningkatan volume produksi pada kuartal III meski masih tetap mengalami kontraksi dengan indeks sebesar 44,37%.
Pembatasan sosial berskala besar akibat pandemi menyebabkan gangguan terhadap pasokan dan distribusi, yang selanjutnya berpengaruh terhadap aspek kecepatan penerimaan pesanan barang input. Komponen tersebut tercatat mengalami kontraksi yang lebih dalam, dengan indeks sebesar 26,16%.
Meskipun membaik, kontraksi diperkirakan masih berlanjut hingga kuartal III yang dipengaruhi oleh masa adaptasi kebiasaan baru pada beberapa daerah di Indonesia, dengan indeks sebesar 37,14%, membaik dari kuartalsebelumnya.
(Baca: Meski Ada Pandemi, Ekspor Industri Alas Kaki Naik 15% di Triwulan I )
Berdasarkan sub sektor, seluruh sub sektor mencatatkan kontraksi yang lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya. Pada kuartal laporan, kontraksi terdalam dialami oleh sub sektor tekstil, barang kulit & alas kaki yang berada pada level 19,10%, diikuti sub sektor barang kayu dan hasil hutan lainnya pada level 19,75, serta kertas dan barang cetakan dengan level 24,11%.
Kinerja seluruh sub sektor industri pengolahan diperakirakan meningkat meski masih terbatas dan tetap berada pada fase kontraksi. Beberapa sub sektor dengan indeks PMI BI tertinggi pada periode tersebut adalah pupuk, kimia dan barang dari karet yakni 49,65%, serta makanan, minuman dan tembakau 48,42%.
Membaiknya kinerja sub sektor makanan, minuman dan tembakau diperkirakan akibat pelonggaran pembatasan di sejumlah daerah dan masuknya era normal baru sehingga mendorong permintaan masyarakat. Di sisi lain sub sektor barang kayu dan hasil hutan lainnya masih mengalami kontraksi terdalam yaitu 39,71%.