DBS Sebut Ekonomi RI saat Pandemi Corona Lebih Baik daripada 1998
Pandemi corona atau Covid-19 menimbulkan perlambatan ekonomi dunia bahkan resesi di beberapa negara. Walau demikian, Presiden Direktur PT Bank DBS Paulus Sutisna menilai kondisi ekonomi di Indonesia saat ini lebih baik dibandingkan krisis moneter pada 1997-1998.
Paulus menilai berbagai indikator saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa 20 tahun yang lalu. "Baik dari segi PDB (Produk Domestik Bruto), cadangan devisa, utang luar negeri, sektor perbankan yang lebih kuat, dan pasar keuangan yang juga lebih dalam," kata Paulus dalam DBS Asian Insights bertajuk Navigating A Brave New World yang bekerja sama dengan Katadata.co.id pada Kamis (16/7).
Selain itu, koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan dinilai positif dalam mengeluarkan berbagai paket stimulus untuk menahan perlambatan ekonomi dan menjaga stabilitas sektor keuangan. "Sehingga sektor perbankan dapat terus mendukung nasabah dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini," ujar Paulus.
(Baca: Perbankan Beralih ke Digital, DBS Ramal Kantor Cabang Bakal Hilang)
Pemulihan ekonomi dari krisis virus corona pun akan lebih mudah karena dapat dimulai dengan mendorong pasar domestik di tengah lesunya perdagangan internasional. Indonesia merupakan negara yang rasio ekspor terhadap PDB berada di kisaran 25% atau lebih rendah dibanding negara tetangga di Asia Tenggara. "Maka, pemulihan ekonomi akan lebih didorong oleh pasar domestik," kata Paulus.
Pertumbuhan pasar domestik ini akan terbantu dengan e-commerce yang sejak 10 tahun terakhir tumbuh pesat di Indonesia. Besarnya pasar e-commerce dan tenaga kerja muda diperkirakan membuat perekonomian Indonesia dapat pulih lebih cepat di tengah pandemi ini.
Namun, Paulus menekankan bahwa tetap tidak boleh gegabah karena masa pandemi memberikan tantangan dan dampak yang tak terduga secara ekonomi dan politik. Apalagi perlambatan ekonomi otomatis berpengaruh pada peta politik Indonesia.
Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, pertumbuhan ekonomi tercatat hanya 2,97%, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang biasanya dicapai Indonesia, di kisaran 5%. Sejak kuartal I 2020, indikasi perlambatan ekonomi sudah terasa dari penurunan konsumsi masyarakat untuk sektor transportasi, restoran, dan hotel.
Ditambah lagi, realisasi investasi juga rendah, terutama untuk jenis mesin, dan produk kekayaan intelektual. Kendati demikian, perdagangan internasional masih bisa tumbuh positif pada kuartal I 2020. Hal ini didorong oleh pertumbuhan ekspor nonmigas, serta penurunan impor seiring pelemahan permintaan domestik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun berharap, akan ada pemulihan ekonomi pada kuartal III 2020. Meski demikian, ia memprediksi laju pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi di zona negatif, yakni minus 1,2% hingga minus 1,1%.
"Perubahan ke arah positif diharapkan terlihat pada kuartal IV 2020, di mana kami memproyeksi pertumbuhannya berada di kisaran 1,6-3,2%," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (9/7).
Menkeu pun optimistis program stimulus bantuan sosial akan mendorong konsumsi masyarakat pada semester II 2020. Selain itu, konsumsi pemerintah akan meningkat, sejalan dengan realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah. Dari sisi investasi, ia memperkirakan akan tumbuh moderat seiring dengan membaiknya keyakinan investor.
Kemudian, perdagangan internasional diprediksikan masih mengalami kontraksi karena masih rendahnya permintaan global. Dengan demikian, perkiraan pertumbuhan ekonomi semester II 2020 akan berada pada level 0,3% hingga 2,2%. Secara keseluruhan, perekonomian akan tumbuh pada level minus 0,4% sampai 1% pada tahun ini.