Kontroversi Penyebab hingga Penamaan Lumpur Lapindo

Image title
Oleh Abdul Azis Said
27 Juni 2019, 14:56
lumpur lapindo, bakrie, semburan lumpur lapindo, lapindo brantas, energi mega persada, 13 tahun lumpur lapindo
ANTARA FOTO/MOCH ASIM
Massa dari Kelompok Perempuan Korban Lapindo membentangkan foto rumah yang terendam lumpur saat melakukan aksi peringatan 13 tahun semburan lumpur Lapindo di depan Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (29/5/2019). Dalam aksi tersebut massa mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah diantaranya menuntut ganti rugi yang belum terselesaikan, menolak wacana penghapusan desa terdampak lumpur, pulihkan kerusakan lingkungan serta pemenuhan hak-hak korban semburan lumpur Lapindo.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Anton Novenanto, Dosen Fisip Universitas Brawijaya, istilah ‘Lumpur Porong’ digunakan oleh media lokal Jawa Timur, Surabaya post. Pemimpin redaksi Surabaya post saat itu, Dhimam Abror Djuraid tak ingin hanya menyalahkan Lapindo saja sebagai pihak yang bertanggungjawab, tetapi juga pemerintah. Karena itulah menurutnya penyebutan ‘Lumpur Lapindo’ sama halnya melimpahkan seluruh kesalahan hanya kepada perusahaan tersebut.  

(Baca: Jokowi Bubarkan BPLS, Masalah Lumpur Lapindo Diambil Kementerian PUPR)

Sementara itu, istilah ‘Lumpur Sidoarjo’ lebih banyak digunakan ketimbang ‘Lumpur Porong’ terutama pada beberapa artikel jurnal geologi. Istilah ini juga dipakai untuk terbitan berita di beberapa media seperti media internasional, Nature and National Gheographic. Adapula media nasional yang salah satunya Media Indonesia.  Bahkan, terkadang pula istilah ini dipakai dengan akronim ‘Lusi’.

Kontroversi Penyebab Bencana Semburan Lumpur

Adanya perbedaan istilah tak lepas karena ketidakjelasan penyebab dari kejadian tersebut. Terlebih dengan berbagai klaim yang berbeda, beberapa sumber menyebutkan bahwa terjadinya semburan lumpur karena pengaruh fenomena alam yang terjadi secara alamiah. Sementra itu hal lain menyebutkan bahwa penyebabnya tak lain karena keselahan pihak perusahaan.

Semakin bias ketika beberapa argumen yang didasarkan atas penelitian ilmiah justru berbeda-beda. Ada yang menyebut kejadian di Porong itu dipicu karena terjadinya Gempa di Yogyakarta dua hari sebelum semburan pertama pada 27 Mei 2006. Namun, penelitian terbaru menunjukkan penyebabnya bukanlah gempa, melainkan karena pengaruh pengeboran.

(Baca: Kontrak Diperpanjang 20 Tahun, Lapindo Janji Tak Ada Semburan Lumpur)

Studi tersebut dilakukan oleh ilmuwan asal Australia dan Amerika, MRP Tingay dari Australian School of Petroleum, University of Adelide dan timnya. Mereka menuliskannya dalam makalah yang berjudul “Initiation of the Lusi Mudflow Disaster”. Artikel ini kemudian mematahkan argumen sebelumnya dari Stephan Miller dari University of Bonn dari Jerman, yang mengatakan fenomena tersebut dipengaruhi oleh gempa di Yogyakarta.

Tingay meneliti data terkait konsentrasi peningkatan pelepasan gas pada luapan lumpur. Menurutnya, tekanan, termasuk gempa yang memicu pencairan formasi clay memang bisa menyebabkan pelepasan gas. Hasil pengamatannya memperlihatkan pada 48 jam sebelum dan 24 jam sesudah gempa tak ada peningkatan pelepasan gas di lokasi pengeboran.

Di sumur gas terdekat dari tempat keluarnya lumpur pun menunjukkan intensitas pelepasan gas yang lebih rendah dari biasanya. Padahal, jika mengacu hasil penelitian Stephan Miller, gempa memicu luapan lumpur dan harusnya pelepasan gas juga meningkat.

(Baca: Lapindo Kelola Kembali Blok Brantas Hingga 2040)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...