Penghapusan Golongan 1.300-4.400 VA Bikin Masyarakat Jadi Konsumtif
Rencana pemerintah menyatukan beberapa golongan tarif listrik mulai mendapat sorotan dari beberapa pihak termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kebijakan itu nantinya bisa membuat masyarakat jadi lebih konsumtif.
Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno mengatakan kebijakan beberapa golongan dan menyatukannya ke daya yang lebih besar akan memaksa masyarakat yang lebih besar dari kebutuhannya. “Dengan kata lain, masyarakat didorong untuk lebih konsumtif,” kata dia kepada Katadata, Rabu (15/11).
Sebagai gambaran, pemerintah tengah menyiapkan beberapa skema penggabungan golongan tarif listrik. Pertama, golongan 900 Volt Ampere (nonsubsidi) akan didorong menjadi 1.300 VA. Kedua, golongan 1.300 VA, 2.200 VA, 3.300 VA dan 4.400 VA akan naik menjadi 5.500 VA. Ketiga, golongan yang memiliki daya di atas 5.500 VA hingga 13.200 VA akan menjadi 13.200 VA. Keempat, di atas 13.200 VA ke atas akan loss stroom.
Dalam menerapkan kebijakan itu, pemerintah juga tidak akan menaikkan tarif dasar listrik. Artinya masyarakat masih menggunakan tarif berdasarkan golongan yang lama. Selain itu, PLN menjamin biaya dasar tagihan (abodemen) listrik bagi pelanggan yang masih menggunakan skema pembayaran listrik pascabayar tidak akan berubah.
Namun, Agus mempertanyakan penyataan pemerintah mengenai tidak akan ada biaya, abodemen dan kenaikkan tarif tersebut. Apalagi untuk golongan 900 VA-RTM dan 1.300 VA ke atas, memang tidak menggunakan abodemen, melainkan biaya penggunaan minimal. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 tahun 2016, rumus biaya penggunaan minimal itu adalah 40 (Jam Nyala)xDaya tersambung (kVA)x biaya pemakaian.
Rumus itu lah yang menurut Agus bisa membuat beban masyarakat bertambah jika daya semakin besar dan pemakaian semakin besar. “Konsumen akan tetap memiliki pengeluaran yang lebih besar untuk listrik,” ujar dia.
Selain itu, Agus juga menilai alasan penyatuan golongan itu tidak transparan. Jika, alasannya adalah untuk efisiensi, maka pemerintah perlu mempertegas dimana inefisiensi yang terjadi selama ini. (Baca: 7 Fakta Rencana Penyederhanaan Golongan Listrik Versi Kementerian ESDM)
Jadi, pemerintah perlu transparan mengenai alasan kebijakan itu. “Jika inefisiensi, ada di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/ PLN maka tidak fair apabila kesalahan itu dibebankan kepada konsumen,” ujar Agus.