Karpet Merah Hilirisasi Batu Bara dalam UU Cipta Kerja

Image title
8 Oktober 2020, 16:48
Ilustrasi digital
123rf
Ilustrasi. Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menyebut perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi dapat menerima royalti 0%.

Keinginan pemerintah untuk menggenjot investasi lewat Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja terlihat terang benderang di sektor pertambangan. Dalam aturan yang baru, ada pemanis berupa royalti 0% untuk perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengklaim kebijakan itu akan membuat bahan baku semakin kompetitif, meningkatkan pendapatan negara, dan mempengaruhi minat investasi. “Kalau investasi terlaksana, tenaga kerja pun bisa terserap,” kata dia dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (7/10).

Ketentuan pembebasan royalti tercantum dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja. Pasal ini mengubah beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 serta revisinya, Undang-Undang Nomor 3 Nomor 2020, tentang pertambangan mineral dan batu bara alias UU Minerba.

Dalam pasal tersebut berbunyi, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Perlakuan tertentu tersebut dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen). Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lalu, di sisi hulu juga terjadi perubahan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut hasil tambang batu bara kini menjadi subjek pajak pertambahan nilai atau PPN. “Dalam UU Cipta Kerja ditegaskan mengenai batu bara sebagai barang kena pajak,” katanya.

Hal ini tercantum pada Pasal 112 yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa serta pajak penjualan atas barang mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51).

Investasi Proyek Hilirisasi

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia atau Perhapi Rizal Kasli mengatakan pemerintah berkomitmen memberikan insentif berupa fiskal dan nonfiskal untuk hilirisasi batu bara. Kebijakannya akan tertuang dalam peraturan pemerintah yang bakal disahkan dalam waktu dekat.

Perusahaan yang melakukan hilirisasi batu bara akan diberikan royalti 0% untuk beberapa tahun setelah produksi. Insentif lainnya yang masuk dalam rencana adalah pemberian keringanan bea masuk barang modal, pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan untuk beberapa tahun, dan insentif pajak daerah yang akan ditentukan oleh pemerintah daerah.

Semua kemudahan itu, menurut dia, sangat penting bagi investor. Apalagi, proyek hilirisasi batu bara memerlukan investasi besar. Misalnya untuk menghasilkan dimethyl ether (DME), pengganti elpiji, memerlukan biaya sekitar US$ 3,5 miliar. Lalu, untuk menghasilkan methanol dibutuhkan biaya sekitar US$ 2 miliar hingga US$ 2,5 miliar.

Apabila dikerjakan tanpa insentif, proyek tersebut kurang layak secara ekonomi. Kebijakan royalti 0% akan memicu investor masuk ke bisnis pertambangan Indonesia. "Dengan catatan, investor mau melakukan hilirisasi minerba," kata dia.

Rizal menyarankan pemberian insentif itu sebaiknya dilakukan secara berjenjang, disesuaikan dengan nilai investasi yang ditanam, dan dampak yang diberikan. Jika nilai investasinya melebihi penerimaan negara, royalti 0% dapat diberikan.

Terkait PPN, ia menyebut konsumen batu bara dalam negeri, seperti untuk PLN dan industri, akan terkena pajak tersebut sebesar 10%. Konsep PPN ditujukan pada pengguna akhir sehingga pembeli yang akan membayarnya. Untuk ekspor batu bara, sesuai Undang-undang Nomor 42 tahun 2009, terkena PPN juga tapi tarifnya 0%.

Produksi batu bara nasional cenderung stabil di atas 400 juta ton per tahun. Pada 2017, produksinya 461 juta ton atau naik 1% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebagian besar produksi batu bara itu untuk pasar ekspor. Bahkan komoditas ini menjadi andalan ekspor nonmigas nasional.

Pasokan batu bara dalam negeri cenderung naik. Pada 2014 pasokan batu bara untuk dalam negeri baru mencapai 76 juta ton, empat tahun kemudian bertambah menjadi 115 juta ton. Peningkatan ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan tambang memasok kebutuhan batu bara nasional. Sisanya kemudian bisa diekspor.

Hilirisasi Tak Langsung Dorong Investasi

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berpendapat pemberian royalti 0% bagi pelaku usaha tambang yang menjalankan hilirisasi cukup positif. Namun, insentif ini tak serta merta membuat investasi ke hilirisasi langsung meroket.

Industri hilirisasi batu bara membutuhkan nilai investasi yang tidak sedikit. Investor membutuhkan jaminan kepastian insentif fiskal dan nonfiskal. Pemerintah sebelumnya telah memberikan stimulus nonfiskal yang tercantum dalam UU Minerba terkait fleksibilitas izin bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi. Namun, kebijakan tersebut dinilai belum cukup.

Insentif lainnya untuk mendorong hilirisasi adalah tax holiday atas pembelian barang konstruksi (EPC) dan pajak bumi bangunan (PBB). "Memang royalti itu yang paling signifikan. Dengan diberikan 0% adalah langkah yang tepat," kata dia.

Hilirisasi, menurut pakar hukum pertambangan Ahmad Redi, sangat penting bagi negara untuk meningkatkan nilai tambah dan konservasi cadangan batu bara. Industri dalam negeri juga dapat tumbuh, begitu pula pengembangan dan pemanfaatan hasil tambang tersebut. Pemberian royalti juga mengganti paradigma batu bara, dari komoditas menjadi modal dasar pembangunan nasional.

Kebijakan peningkatan nilai tambah ini seharusnya dilakukan dalam perspektif negara. Selama ini bisnis batu bara hanya keruk, angkut, dan jual. Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, kekayaan alam itu harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Menanti Terbitnya PP

Hendra menjelaskan guna menjamin kepastian investasi perusahaan tambang, APBI saat ini tengah menanti terbitnya peraturan pemerintah atau PP terkait pajak. Setiap produsen batu bara saat ini mendapat perlakuan pajak berbeda-beda.

Besaran pajaknya tergantung generasi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang perusahaan miliki. "PP itu sangat penting sebagai dasar hukum perusahaan yang akan diperpanjang menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK)," ucapnya.

PT Arutmin Indonesia selaku pemegang PKP2B generasi pertama juga menyampaikan hal serupa. General Manager Legal & External Affairs Arutmin Indonesia Ezra Sibarani mengatakan pihaknya tengah menanti terbitnya PP pajak.

Perusahaan juga tengah menunggu keputusan resmi dari pemerintah terkait perpanjangan kontrak dan perubahan status PKP2B menjadi IUPK. PP itu sangat penting sekali bagi keberlangsungan bisnis Arutmin. "Berbeda dengan perusahaan lain, pajak kami 45%, sementara yang lain 25%," ujarnya.

Menanggapi soal royalti 0%, ia menyebut hal itu sebagai wujud nyata keseriusan pemerintah dalam mendorong hilirisasi batu bara. "Tentunya akan menambah keekonomian proyek hilirisasi yang butuh investasi sangat besar, teknologi yang masih jarang, dan offtaker (pembeli) yang terbatas," ucapnya.

Produsen batu bara lainnya, PT Adaro Energy Tbk, menyampaikan perusahaan senantiasa menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pihaknya akan patuh dan mengikuti aturan yang berlaku. "Dengan melaksanakan optimalisasi pemanfaatan cadangan untuk peningkatan penerimaan negara dan pengembangan perusahaan," ujar Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira.

Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...