Mendung Investasi di Sektor Hulu Tanpa Kepastian UU Migas
Produksi dan cadangan migas dalam negeri terus tergerus dari tahun ke tahun. Kegiatan eksplorasi tak pernah berjalan sesuai harapan. Cenderung stagnan, bahkan minim. Tanpa perbaikan iklim investasi, negara ini sulit mengejar target produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD).
Pandemi Covid-19 semakin memperburuk keadaan. Konsumsi bahan bakar minyak jatuh, investasinya pun ikut anjlok. Pemerintah memperkirakan realisasi investasi hanya US$ 11,8 miliar atau sekitar Rp 167 triliun dari target US$ 13,8 miliar pada tahun ini.
Berbagai cara sudah pemerintah lakukan, mulai dari memangkas perizinan hingga membebaskan investor memilih skema kontrak bagi hasil. Keduanya tampaknya tak terlalu berhasil.
Yang teranyar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana mengurangi pajak penghasilan dari 25% menjadi 20% atau 22% dalam dua tahun ke depan. Kebiajakn ini berlaku untuk industri migas dari eksplorasi hingga produksi. “Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja,” katanya dalam acara International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2020, Rabu (2/12).
Ia menyebutkan telah memakai semua instrumen untuk mendukung hulu migas. Pemerintah juga memberikan dukungan melalui pembebasan bea masuk bandara dan berbagai fasilitas lain di kawasan ekonomi khusus.
Sebelumnya, Sri Mulyani juga mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140 Tahun 2020 tentang pengelolaan barang milik negara hulu migas. Intinya, Kementerian Keuangan menyederhanakan birokrasi dan mendukung optimalisasi sektor tersebut.
Aturan itu juga memberi peran lebih besar kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan badan pelaksana. “Ini semua upaya kami agar dapat merumuskan kebijakan yang tepat,” ucapnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan akselerasi pemakaian energi baru terbarukan atau EBT yang menjadi tren dunia saat ini tidak akan meninggalkan sektor migas. Perannya tak hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar transportasi dan kelistrikan, tapi juga bahan baku industri.
Berdasarkan rencana umum energi nasional atau RUEN, konsumsi minyak akan naik dari sekarang sekitar 1,66 juta barel per hari (BPD) menjadi 3,97 juta barel per hari di 2050. Kenaikannya mencapai 139%. Untuk gas, konsumsinya membengkak dari 6 miliar standar kaki kubik per hari menjadi 26 miliar standar kaki kubik atau melonjak 298%.
Dengan posisinya yang masih strategis, Presiden Joko Widodo telah mengarahkan agar sektor ini tidak hanya menjadi penggerak pendapatan semata. “Namun menggerakkan roda perekonomian juga,” kata Arifin dalam acara yang sama.
Pemerintah optimistis ekonomi akan pulih pada 2021. “Saya meminta Anda mempertimbangkan Indonesia sebagai tujuan investasi. Saya yakin tahun depan perekonomian akan tumbuh positif,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Kehadiran vaksin pada bulan ini untuk menumpas pandemi corona menjadi dasar keyakinannya. Selain itu, kehadiran UU Cipta Kerja juga akan membuat iklim investasi membaik. “Singkatnya, dengan Omnibus Law pemerintah melakukan penyederhanaan dan sinkronisasi 8.451 peraturan pusat dan 15.955 peraturan daerah yang selama ini membebankan dunia usaha,” ujar Luhut.
Revisi UU Migas Tak Jelas Nasibnya
Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan menilai perbaikan iklim investasi dapat dimulai dengan memperbaiki kepastian hukum untuk berbisnis di Indonesia. Misalnya, pemerintah perlu melakukan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi alias UU Migas.
Tanpa itu, status badan pelaksana hulu migas atau SKK Migas masih tak pasti. Baru setelahnya, pemerintah dapat memperbaiki dan berkoordinasi dengan aturan yang ada, termasuk Omnibus Law Cipta Kerja.
Rezim fiskal pun perlu perbaikan dan perbandingan agar menarik bagi investor. “Yang utama itu, perbaikan non-technical agar lebih baik dari negara lain,” ucapnya.
Untuk aspek teknisnya, seperti eksplorasi dan teknologi pengurasan minyak (EOR) untuk menggenjot produksi, dapat pemerintah serahkan ke investor. “Mereka tahu yang harus dilakukan selama dapat berinvestasi dengan nyaman,” kata Tumbur.
Pandemi telah membuat kondisi pasar di luar kebiasaan atau extraordinary. Karena itu, pemerintah perlu melakukan perubahan luar biasa pula. Momennya saat ini menjadi penting di tengah perubahan dunia menuju energi bersih.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat serupa. Pemerintah ingin menggenjot investasi migas karena berkontribusi besar bagi keuangan negara. Namun, persoalannya adalah kepastian hukum. Revisi UU Migas sampai sekarang belum jelas nasibnya dan tak kunjung disahkan.
Berdasarkan Rapat Panitia Kerja DPR RI per November 2020 tentang daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2021, sektor energi hanya memuat Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan. RUU Migas tak masuk dalam daftar itu.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menjelaskan belum masuknya RUU Migas dalam Prolegnas 2021 lantaran adanya pengurangan target penyelesaian undang-undang di tengah pandemi. Tahun depan hanya RUU EBT yang akan selesai. Baru kemudian DPR akan membahas RUU Migas.
Sebenarnya revisi aturan hulu migas itu sudah masuk Prolegnas 2015 tapi tidak selesai hingga masa kerja DPR periode sebelumnya berakhir. Ketika itu anggota dewan beralasan dari pihak pemerintah tak kunjung menyerahkan daftar isian masalah atau DIM.
Pemerintah hanya menyerahkan surat presiden atau Supres ke DPR. DIM untuk menyelesaikan RUU tersebut tidak diikutsertakan. “Mohon maaf, artinya pemerintah belum siap,” kata Sugeng.
Anggaran Kegiatan Eksplorasi Rendah
Sugeng berpendapat realisasi investasi di sektor hulu migas memang menurun tiap tahun. Bahkan tahun ini realisasinya hanya US$ 11,8 miliar. Dari angka itu, hanya 10% untuk eksplorasi migas. “Sisanya untuk produksi. Begitu juga dengan cost recovery (pengembalian biaya operasi), sebagian besar untuk keigatan produksi," katanya.
Kemampuan pemerintah untuk menggenjot investasi masih minim. Kondisinya semakin mengkhawatirkan karena lapangan migas Indonesia sebagain besar berusia tua dan sudah mulai menurun produksinya.
Investasi sektor hulu semakin tidak menarik karena keuntungan untuk kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS semakin kecil. “IRR (tingkat pengembalian investasi) di hulu mengecil. Kalau tidak ada negara mengambil alih eksplorasi akan semakin parah,” ujar Sugeng.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengakui anggaran kegiatan investasi saat ini masih kecil. “Cuma 9%,” katanya. Dari awal tahun sampai dengan triwulan ketiga realisasinya baru mencapai US$ 11,2 miliar.
Di sisi fiskal, pemerintah tak hanya membebaskan kontraktor untuk memilih dua skema kontrak saja. Kontraktor juga dapat memilih bentuk lainnya. “Selain cost recovery dan gross split, ada bentuk lainnya. Itu dimungkinkan,” kata Tutuka.
Persoalan di industri hulu migas sudah sejak lama terjadi. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat penyelesaiannya tidak bisa hanya dengan insentif-insentif yang sifatnya sementara. Pasalnya, proyek hulu migas bersifat jangka panjang, berumur 30 tahun ke atas.
Yang terpenting sekarang adalah meyakinkan investor dengan kepastian hukum. Pemerintah juga dapat membuat gebrakan baru dengan mengembalikan lagi prinsip assume and discharge yang tak berlaku lagi bagi kontrak baru sejak 2016.
Dalam prinsip itu, kontraktor mendapatkan pembebasan pajak tidak langsung atas jatah bagi hasil migas. “Banyak yang keluar ke negara lain karena potensinya jauh lebih banyak dan iklim investasinya lebih mudah,” ujar Mosche.