Pemerintah Buka Opsi Tunda Jadwal Penyelesaian Smelter Freeport
Pemerintah mempertimbangkan penundaan jadwal penyelesaian pembangunan pabrik pemurnian atau smelter tembaga PT Freeport Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 telah membuat pengerjaan proyek itu terganggu.
“Dunia belum seindah 100% yang kami harapkan. Kalau ada kendala, akan kami pertimbangkan target 2023,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/1).
Pemerintah berharap perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu akan menyelesaikan pembangunan smelter itu sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba. Terdapat dua fasilitas yang sedang perusahaan bangun, yaitu pengolahan konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga dan pemurnian logam berharga (precious metal refinery/PMR).
Hingga Juli 2020, berdasarkan data Kementerian ESDM, pembangunan smelter katoda tembaga di Gresik, Jawa Timur baru mencapai 5,86% dengan serapan biaya US$ 159 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun. Padahal, pada tahun lalu targetnya mencapai 10,5% dari keseluruhan pembangunan.
Untuk fasilitas pemurnian logam berharga, realisasinya baru 9,79% dengan serapan biaya US$ 19,8 juta atau sekitar Rp 278 miliar. Target pembangunan ini seharusnya mencapai 14,29%.
Pemerintah juga sedang mengkaji lokasi pembangunan smelter tersebut. Dari awalnya di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur, kini terbuka peluang untuk membangunnya di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera, Maluku Utara.
Di Weda Bay, perusahaan bakal menggandeng Tsingshan Steel asal Tiongkok dengan nilai investasi mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25,5 triliun. "Boleh membangun sendiri, boleh bekerja sama," kata Ridwan.
Rencana pembangunan smelter di Weda Bay telah mendapat dukungan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam wawancaranya dengan Asia Times beberapa waktu lalu, Luhut mengatakan kesepakatan antara Freeport dengan Tsingshan akan ditandatangani sebelum Maret 2021.
Freeport Kerap Ingkar Janji Soal Smelter
Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi sebelumnya mengatakan pembangunan smelter butuh dana cukup besar. Dalam UU Minerba, pemerintah memberikan waktu lima tahun bagi Freeport untuk mempersiapkan diri.
Lalu, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 memberikan waktu tiga tahun kepada perusahaan untuk menyelesaikan komitmennya. Freeport lalu mendapat waktu lima tahun lagi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Tapi sampai sekarang proyek itu baru selesai sekitar 5% saja. "Artinya, pemerintah telah memberi Freeport waktu yang panjang," kata dia.
Pembangunan smelter, menurut dia, bukan persoalan jangka pendek tapi sebaliknya. Ada isu kedaulatan sumber daya alam Indonesia di dalamnya. Selama ini pertambangan hanya menjadi bisnis jual beli ore atau bahan mentah saja. Dengan hilirisasi, komoditas tambang akan mendapatkan nilai tambah.
Freeport kerap kali ingkar janji atas komitmennya membangun smelter. Dalihnya tak pernah jauh dari soal keekonomian proyek. Padahal, kewajiban itu sudah tertuang dalam Pasal 10 Kontrak Karya Freeport pada 1991.
Pemerintah pun sudah memberikan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus atau IUPK kepada perusahaan sebelum kontrak berakhir di 2022. Perpanjangan hingga 2041 diberikan dengan catatan Freeport menyelesaikan pabrik pemurnian yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur itu.
Dengan kondisi itu, Ahmad Redi berpendapat Kementerian ESDM terlalu lemah menghadapi Freeport. "Harus ada ketegasan dari pemerintah agar proyek ini terbangun," kata dia.
Ia pesimistis pabrik pemurnian itu dapat rampung pada 2023, sesuai komitmen perpanjangan IUPK. "Masalahnya ada di pemerintah yang tidak konsisten dan konsekuen atas kebijakannya sendiri, ditambah komitmen Freeport yang setengah hati," ujarnya.