Bos Freeport Cerita Sulitnya Bangun Pembangkit EBT di Tembagapura
PT Freeport Indonesia telah melakukan kajian untuk membangun pembangkit listrik dari energi baru terbarukan atau EBT. Namun, sampai sekarang belum ada keputusan pembangkit apa yang sesuai untuk wilayah operasinya di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua.
Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas menceritakan kajian tersebut telah perusahaan lakukan sejak 2008. Pembangkit listrik tenaga air atau PLTA menjadi opsi pertama.
Di Tembagapura ada sungai yang arusnya cukup kuat. Hanya saja, pembangunan PLTA butuh waktu lama dan akhirnya berhenti di tengah jalan, tepatnya pada 2009. “Ketika itu kami sibuk melakukan negosiasi kontrak dengan pemerintah hingga 2018,” katanya dalam diskusi Media Group News Summit 2021, Kamis (28/1).
Pembangunan PLTA membutuhkan waktu sepuluh tahun. Sedangkan waktu izin operasional Freeport hanya sampai 2041. Dengan begitu proyek pun menjadi tidak ekonomis.
Perusahaan lalu mencari alternatif pembangkit energi terbarukan lainnya. Salah satunya, pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS.
Beberapa ahli telah datang untuk mengerjakan proyek itu. Namun, cuaca di Tembagapura ternyata kurang mendukung. Intensitas hujannya salah satu yang tertinggi di dunia sehingga sering tertutup awan. “Panas mataharinya hanya beberapa jam saja, jadi tidak cukup untuk PLTS besar,” ujar Tony.
Freeport juga sempat mencoba pembangkit listrik tenaga angin atau bayu (PLTB). Namun, lagi-lagi kondisi iklimnya tak sesuai. Angin di lokasi tambang emas dan tembaga itu sedikit dan tidak konstan.
Perusahaan akhirnya memutuskan untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) dengan dual fuel. “Nah, kalau pakai gas akan lebih bersih dan instalasinya lebih cepat," ucapnya.
Menteri KLHK Minta Target Bauran Energi Dinaikkan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk menaikkan target bauran energi. Patokan yang pemerintah tetapkan sekarang dinilai terlalu rendah. Angkanya di 23% pada 2025 dan 31% di 2050.
Siti merekomendasikan agar targetnya naik menjadi 50% di 2050. “Kalau kami lihat, Pak Menteri (Arifin Tasrif), boleh naik lagi di 2050, jadi pada 2070 menjadi net zero emission (bebas emisi),” katanya.
Sepanjang 2015 hingga 2018, emisi karbon atau gas rumah kaca yang timbul di negara ini paling banyak dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Dari sektor kehutanan, Siti mengklaim, justru menurun.
Ia menyebut kehutanan menjadi sektor penting dalam pencapaian target pengurangan emisi nasional atau nationally determined contribution (NDC). Berdasarkan konvensi perubahan iklim atau Perjanjian Paris 2015, Indonesia memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon dari sektor ini sebesar 17,2%. Lalu, energi 11%, limbah 0,32%, pertanian 0,13%, serta industri dan transportasi 0,11%.
Target pada 2030, Indonesia akan menurunkan sekitar 29% emisi gas rumah kaca (GRK) atau setara 2,8 giga ton karbon dioksida (CO2). Per 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah berupaya menurunkan emisi karbon sampai 70%.